Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Hindari Kebencian kepada Prabowo, Apalagi Jokowi

30 Agustus 2018   09:03 Diperbarui: 30 Agustus 2018   16:39 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syahwat politik itu sama dengan kebutuhan biologis. Itu manusiawi. Kala mencapai klimaksnya, tidak mustahil pelakunya merengek bagai seorang anak yang tengah meminta permen kepada sang ibu. Dan, ketika ibu memenuhi permintaannya, bisa jadi sang bocah dengan cepat menerima pemberian itu tanpa mengucapkan terima kasih. Bocah tadi lari berjingkrak sambil menunjukan kegembiraan dan berlalu dari pandangan.

Syahwat politik itu tidak bedanya ketika kita menyaksikan seekor ayam jago berada di sekumpulan ayam betina. Jangan berharap ayam-ayam betina dapat bersantai. Mengapa? Karena si jago tak akan mengabaikan momentum itu untuk mengawininya. Satu per satu sang betina dijadikan sasaran pelampiasan biologisnya: tak lihat keadaan sekeliling dan juga tak memperhatikan betina-betina lain akan memperlihatkan rasa cemburunya.

Hehehehe... ayam kok punya rasa cemburu?

"Pokoknya, masa bodolah. Namanya juga ayam jago. Perilakunya, dimana pun, sama," kata Ustaz Rafiq dalam suatu obrolan di warung kopi ketika menanggapi celoteh rekan-rekannya yang tengah membahas sekelompok orang menanamkan kebencian kepada kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden di negeri ini. Cara menebar kebencian itu, alasannya, guna meraih suara pendukung pada Pilpres mendatang.

"You jangan menebar kebencian kepada Prabowo, kepada orang-orang partai-partai pendukungnya. Apa lagi kepada petahana Joko Widodo,"  Rafiq menambahkan penjelasannya.

Mendengar penjelasan seperti itu, seisi warung - yang tengah asyik menyeruput seduhan kopi hitam kental -, sontak mengalihkan perhatian kepada Ustaz Rafiq. Dan melihat orang-orang sekeliling mengalihkan perhatian kepada dirinya, tentu saja sang ustaz itu berfikir bahwa ia harus mempertanggungjawabkan ucapannya.

Jika tidak, maka potensi cercaan akan menimpa pada dirinya. Ia akan jadi bahan olok-olok orang banyak di kampungnya. Setidaknya akan terbentuk opini bahwa ustaz murahan itu lagi cari panggung. Bakal dijuluki ia hanya tahu kulit-kulit politik saja. Karenanya, buru-buru Ustaz Rafiq melanjutkan penjelasannya.

Jika yang hadir di sini menebar rasa kebencian kepada pasangan calon presiden dan orang-orang pendukungnya dari berbagai partai, maka kerugianlah yang akan didapat. Bisa jadi rakyat lapisan bawah dan awam politik akan terbakar bagai rumput kering di tengah musim kemarau. Ada juga yang menertawakan lantaran sudah cerdas 'pola permainan' elite politik. Ada juga yang diam, tutup mulut karena takut tak dapat duit.

Sejatinya elite politik dan partai politik itu punya misi, yaitu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Juga memberikan keteladanan bagaimana mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara yang elok. Bukan menyakiti, menyebar fitnah dan berita bohong. Apa lagi membenci.

"Kan para ulama sudah sepakat dan menyebut bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dengan fitnah, rumah tangga bisa cerai berai. Dengan fitnah dan berita bohong, negara bisa pecah. Hindari fitnah," Rafiq mengingatkan.

Penjelasan sang ustaz ini kemudian mengubah suasana warung kopi yang semula para penikmat berpencaran di beberapa meja kemudian mereka berpindah dan mendekat kepadanya.

Wuih, keren. Retorika sang ustaz ini rupanya telah memikat para pengunjung warung kopi. Pesanan kopi dan makanan ringan pun bertambah.

"Seruput dulu kopinya pak ustaz!," pinta seorang pengunjung.

Mendapat tawaran seperti itu, ia pun menyeruput kopi yang tersedia di hadapannya. Kopi pun belum terlalu dingin, alias masih hangat. Ia mengangkat cangkir dengan didahului ucapan basmalah.

"Hehehe, maaf. Ngopi dulu. Kopi masih hangat," katanya sambil membetulkan letak songkok putihnya. Ucapannya itu kemudian disambut tawa hadirin.

Lantas sang ustaz memohon izin kepada pemilik warung untuk melanjutkan penjelasannya.

Katanya lagi, kita ini, di negeri tercinta ini banyak berdiri partai politik (parpol). Artinya, kita menganut multi partai. Beranjak pada pengalaman Pilkada lalu, dapat disaksikan partai warna A bergabung dengan partai warna B dan C. Tetapi di lain daerah, partai A B dan C bergabung dengan partai lain dan menjadi lawan partai A. Demikian juga di berabagai provinsi lainnya.

Di situ, persaingan untuk meraih suara dan simpati rakyat tidak lagi dapat dimaknai sebagai pertarungan. Tetapi sebagai persaingan dan berkompetisi menjadi pendukung simpati bagi rakyat. Dari sebutannya saja berbeda: antara pertarungan dan persaingan.

"Beda-beda tipis lah. Beti! Bukan sebutan kata untuk banci," kata sang ustaz lagi disambut tawa hadirin.

Karena itu, gunakan kecerdasan dalam menikmati momentum politik yang tengah menghanyat saat ini. Cerdas menyimak pembicaraan elite politik, baik tindakan dan segala perbuatannya. Itu berlaku bagi para politisi, apakah ia berasal dari partai yang disebut ahli surga atau nasionalis relegius.

Pesta demokrasi bagi rakyat itu - sesuai konstitusi kita - cuma berlangsung lima tahun sekali. Setelah usai pesta, bisa jadi partai pendukung berbalik arah, bersebrangan karena tak puas. Boleh jadi pula, lima tahun mendatang, pesta demokrasi diwarnai dengan perubahan partai yang dulu menantang kemudian berbalik arah.

Kita pun pasti sepakat dengan elite politik yang sering mengingatkan, bahwa politik itu dinamis. Segala perubahan cepat terjadi. Anomali politik kadang menjadi berita aktual lantaran mengejutkan publik. Misalnya, elite politik tertangkap tangan operasi lembaga anti-rasuah.

Lalu, publik menyambutnya dengan rasa terkejut, wah kok gitu kelakuannya, ya?

Publik pun kemarin (29/8/2018) merasa 'surprised' ketika kedua tokoh yang akan berkompetisi dalam Pilpres 2019, Jokowi dan Prabowo, berpelukan dalam selubung bendera Merah-Putih di arena pencak silat Asian Games 2018. Sontak, media pemberitaan, menempatkan peristiwa itu sebagai berita utama.

Dari gambaran itu, sang ustaz mengakhir celotehnya. Tidak perlulah kita harus "berkelahi" dengan sesama. Pilkada, Pilpres dan pil pil lainnya adalah sarana untuk mencari pemimpin bangsa yang berkualitas. Saksikan saja mereka menjajakan program kerja. Pilih pemimpin dengan rasa merdeka, tanpa beban dengan tetap berpegang pada koridornya yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Terpenting, jadilah orang waras ketika memilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun