Berawal dari keharusan mengenakan batik kala bertugas sebagai reporter di Istana Wakil Presiden, Merdeka Selatan.Â
Di era Orde Baru, istana punya aturan ketat. Saat itu Wakil Presidennya adalah Letnan Jenderal TNI H. Soedharmono, S.H. Ia adalah Wakil Presiden kelima yang menjabat selama periode 1988-1993.
Keharusan mengenakan batik juga diberlakukan bagi reporter yang ditugasi di Istana Presiden di Merdeka Utara yang dijabat Bapak Soeharto.Â
Kala itu, bagi setiap wartawan jika bertugas di istana diharuskan mengenakan batik. Kalau tidak batik, yang bersangkutan harus mengenakan baju lengan panjang plus berdasi. Lebih keren lagi, ya dilengkapi dengan jas.
Wuih. Itulah gaya wartawan "elite" sebutan di era itu. Soal otak cerdas atau tidak, di sini tak dipersoalkan. Penting sebelum bertugas di istana, harus menjalani screening.Â
Jadi, reporter "elite" di istana harus lulus ujian penyaringan untuk mengetahui integritas, loyalitas dan tentu tidak berbuat macam-macam ketika menjalani tugas.
Apa itu?
Siapa pun orangnya, apakah dia petinggi atau warga biasa, dilarang masuk istana mengenakan celana jeans. Kita tahu, dari dulu hingga kini, celana jeans dipakai oleh semua kalangan, mulai orang dari berbagai usia muda hingga tua.Â
Dari jauh, jika ada tamu mengenakan jeans hendak masuk istana, cepat-cepat dicegah melintas pintu masuk. Jadi, sebelum lewat meja petugas larangan masuk sudah sampaikan kepada tamu.
Tas ransel kala itu kebanyakan berisi tape recorder, notes dan baju lengan panjang, batik dan perlengkapan kerja. Ketika masuk pintu, lapor ke petugas dengan menyerahkan identitas yang dikeluarkan pihak otoritas istana.
Petugas paham betul. Ia tidak melarang wartawan masuk tidak mengenakan dasi dan batik saat itu. Sebab, wartawan tak langsung menuju tempat acara atau ruang wartawan.Â
Mereka akan "ngeloyor" ke toilet untuk mengganti baju. Jaket yang biasa digunakan ketika bermotor dilepas. Lantas, diganti dengan pakaian batik atau baju lengan panjang berdasi.
Wuih, di situ wartawan berkaca di kamar kecil berputar-putar seperti puteri raja. Ah, jadi ingat Lilis Suryani, penyanyi terkenal yang juga membawakan lagu berjudul Gang Kelinci. Penyanyi kelahiran Jakarta pada 22 Agustus 1948 itu wafat 7 Oktober 2007 di Jakarta.
Kembali kepada tampilan dengan batik tadi, setelah berkaca dan diri merasa keren, barulah keluar dari kamar kecil itu. Lantas, cepat-cepat bersama rekan lainnya menuju tempat acara.Â
Di sini biasanya jadwal kegiatan menerima tamu sudah ditata apik. Tepat waktu sudah pasti. Tamu usai diterima wapres, barulah keluar. Lalu ia mengeluarkan pernyataan, apa saja yang disampaikan kepada wakil presiden tadi.
Biasanya para tamu mengeluarkan pernyataan sebatas apa yang dibicarakan dengan wapres. Tapi, dengan berbagai cara, diluar pokok pembicaraan tadi juga ditanyai. Kalau beruntung, dapat pernyataan yang "menjual". Kalau lagi apes, pernyataannya cuma datar-datar saja.
Karenanya, pandailah memainkan isu sehingga kala mengajukan pertanyaan sang tamu bisa membuka mulut dengan pernyataan bernilai aktual dan menjual. Nah, kerenkan. Sekeren dengan pakaian batik yang dikenakan, tentu.
**
Ketimbang mengenakan baju (putih) lengan panjang dan berdasi, penulis lebih menyukai memilih mengenakan batik. Mengapa? Alasan awalnya karena mengenakan batik lebih praktis.Â
Di kamar kecil, baju yang disimpan di ransel tinggal diambil. Buka ransel, tinggal pakai. Berbeda dengan baju lengan panjang dan keharusan mengenakan dasi. Wuih "rempong-nya" ampun. Masang dasi di leher saat itu terasa nafas sesak. Meski sudah mahir, tetap saja terasa ribet.
Sejak itu, penulis sering membeli baju batik. Tentu pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan tugas sehari-hari. Tapi, kemudian, kok menjadi gemar dengan batik.Â
Kalau ada orang mengenakan batik, yang diperhatikan adalah motif dan potongan jahitannya. Lebih repot lagi, saat menyaksikan para penggede mengenakan batik terlihat keren, ada dorongan untuk mencari tahu. Dimana dijual batik itu. Pendek kata, suka "ngiler" melihat batik.
Beruntung penulis sering bepergian ke berbagai daerah. Meski tak lagi bertugas di istana, halangan untuk mendapatkan batik berkualitas mudah dijangkau.Â
Dari harga ekonomis hingga batik sutera, kala keinginan kuat datang untuk memilikinya, ya dibeli. Pikir penulis, daripada penasaran tak terbayar.Â
Penulis pun tahu bahwa batik dari Papua kebanyakan dibuat di beberapa pusat kerajinan batik di Pulau Jawa, lantaran motifnya bagus, ya dibeli.
Penulis pun kini merasa bersyukur, Indonesia nyatanya memiliki ragam batik beken. Ketika berlangsung KTT ke-6 APEC di Istana Bogor, Indonesia, pada 15-16 November 1994 para kepala negara yang hadir ikut mengenakan baju batik.
Keren deh saat itu. Pada KKT tersebut dihasilkan deklarasi yang memuat kesepakatan-kesepakatan umum para pemimpin APEC. Kesepakatan itu kemudian dikenal juga Bogor Goals, nama lain dari APEC Economic Leaders Declaration of Common Resolve. Â
Kita patut bangga batik Indonesia makin kesohor. Siapa pun kini mengakui bahwa warisan seni budaya yang luar bisa - tersebar dari Sabang sampai ujung Papua, Â Merauke - memiliki corak yang indah.Â
Batik juga ikut penopang ekonomi masyarakat. Dan, industri batik menjamur di berbagai daerah dengan coraknya masing-masing. Disusul lagi hadirnya penggiat batik yang kreatif.Â
Jadi, kala penulis mengenakan batik di berbagai kesempatan, itu bukan disebabkan ikut hadir pada acara formal seperti kondangan pengantin atau acara sunatan anaknya si Doel.Â
Penulis kini merasa tidak sempurna atau tidak percaya diri jika tak mengenakan batik. Ke masjid saja, pakai baju koko bermotif batik. Pada awalnya karena suatu keharusan dalam tugas, tetapi sekarang jadi fanatik dengan batik.
Sumber bacaan satu dan dua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H