Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ondel-ondel Kecemplung Comberan, Nilai Tradisi yang Tergerus Zaman

21 Juni 2018   12:14 Diperbarui: 21 Juni 2018   19:03 2310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ondel-ondel di RS Budi Asih Jakarta. Foto | Dokpri

Sebagai warga Jakarta, tentu pernah menyaksikan gerombolan anak remaja beriringan membawa ondel-ondel di tepi jalan. Kadang gerombolan anak remaja ini, dengan diiringi musik khas Betawi, membawa gerobak dan alat musik lainnya berjalan ke arah permukiman kumuh dan padat. Kadang pula mereka berada di jalan raya nan ramai.

Biasanya, para remaja ini membeli peralatan musik secara gotong royong. Alat yang dibeli di antaranya berupa tehyan, gendang besar dan kecil, kenong dan kecrek. Mereka harus mengeluarkan uang dengan kisaran harga satu set Rp500 ribu. Pengakuan pemain ondel-ondel, alat-alat itu dapat dibeli di kawasan Pasar Poncol, kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat.

Akulturasi budaya di Betawi. Foto | Dokpri
Akulturasi budaya di Betawi. Foto | Dokpri
Sedangkan sepasang patung ondel-ondel dapat dibeli dengan kisaran Rp1 juta dengan tinggi antara 1,5 hingga 2 meter. Untuk membedakan ondel-ondel lelaki dan perempuan, dapat dilihat wajahnya. Ondel-ondel lelaki bermuka merah dengan kumis melintang bagai ikan lele nemplok di bawah hidung mekar. Sedangkan yang perempuan diberi selendang tanpa kerudung yang seharusnya menjadi ciri orang Betawi.

Mungkin bagi si pemuat ondel-ondel sulit menempatkan kerudung lantaran di atas kepala ondel-ondel harus dihiasi guntingan kertas mengilap di tusukan kepala berupa konde. Hiasan itu seperti ciri khas Melayu, yang disebut akar kelapa berwarna.

Dan, pada bagian perut ondel-ondel, diberi lobang (untuk mengintip) agar si pengusung patung ondel-ondel terbuat dari kerangka kayu bambu itu tidak kehilanga arah ketika berjalan.

Anak remaja pemabawa ondel-ondel biasanya membawakan lagu Ondel-ondel seperti lirik di bawah ini:

Nyok, kite nonton ondel-ondel
Nyok, kite ngarak ondel-ondel
Ondel-ondel ade anaknye
Anaknye ngigel ter-iteran

Mak, bapak ondel-ondel ngibing
Ngarak penganten disunatin
Goyangnye asyik endut-endutan
Nyang ngibing igel-igelan

Plak gumbang gumplak plak plak
Gendang nyaring ditepak
Yang ngiringin nandak
Pade surak-surak

Tangan iseng ngejailin
Kepale anak ondel-ondel
Taroin puntungan
Rambut kebakaran

Anak ondel-ondel jejingkrakkan
Kepalenye nyale bekobaran
Yang ngarak pade kebingungan
Disiramin aer comberan

Lagu ondel-ondel, dulu kita ingat sering dibawakan penyanyi dan pelawak almarhum Benyamin Sueb. Dulu, yang mengiringi awalnya musik gamang kromong.

Ondel-ondel kesepian, diarak sendirian oleh penyawer. Foto | Dokpri
Ondel-ondel kesepian, diarak sendirian oleh penyawer. Foto | Dokpri
Kala masih kecil, lagu yang dibawakan alm Benyamin Sueb itu terasa lucu. Jenakanya masih terngiang di telinga. Tapi, untuk sekarang, ketika dari arah depan jalan raya muncul gerombolan anak-anak dengan gendang di atas gerobak dan patung ondel-ondel muncul, ada rasa ketakutan. Lagu ondel-ondel seperti membangkitkan rasa takut.

Was-was semakin menguat ketika rombongan mendekat. Bukan takut pada patung ondel-ondel yang berkumisnya melintang bagai ikan lele nemplok di bawah hidung mekar, tapi ngeri kepada para pemain musiknya yang kadang usil memukul mobil lewat jika mereka tidak diberi sumbangan.

"Gue nggak takut dan memang nggak perlu takut same ondel-ondel bekumis itu. Yang gue takutin cuma pemainnya kadang rada ganas," keluh seorang warga.

Kesenian ondel-ondel Betawi ini kini makin tergerus zaman. Dengan sebutan lain semaki kepepet dengan kesenian pop dan dangdut yang dimainkan dengan gerobak keliling kampung berisi peralatan musik di pasar tradisional pinggiran Jakarta.

Dan, bocah-bocah yang memainkan kesenian ini sebagai sarana meminta (minta) bantuan uang tanpa sengaja telah mendegradasi nilai kesenian Betawi itu sendiri. Lalu banyak pula di antara warga Ibu Kota mempertanyakan, beginikah kesenian yang diklaim sebagai miliknya orang Betawi.

Lagi pula jika diperhatikan, di antara pemain musik itu terasa tidak ada kekompakan. Suaranya ngalor-ngidul nggak tahu arah juntrungnya. Ngak ngek ngok. Sebagai warga Betawi, ya ikut sedih. Karenanya, harapan suara musik yang harmonis dengan cita rasa indah tidak dijumpai.

Ondel-ondel di pinggir jalan. Foto | Harian Terbit
Ondel-ondel di pinggir jalan. Foto | Harian Terbit
Singkat kata, suara harmonis tidak terdengar. Mengapa bisa demikian?

Gambarannya begini. Ketika bocah-bocah itu memainkan kesenian ini di tepi jalan, ada di antara pemain lebih fokus minta bantuan. Yang lain ada yang kelelahan mendorong gerobak. Ada yang kecemplung comberan di tepi jalan namun rekannya tak cepat memberi pertolongan. Malahan ikut tertawa bersama penonton.

Untung saja tidak disiramin aer comberan seperti pada lagu ondel-ondel itu sendiri. Meski begitu, dari realitas ini, penulis masih punya harapan kesenian ondel-ondel bisa tetap eksis kalau saja para pemangku kepentingan seperti Dinas Kebudayaan Pemda DKI Jakarta memberi perhatian serius.

Utamanya terhadap para seniman Betawi yang kini memasuki usia senja.

HUT kota Jakarta memang selalu diingatkan berbagai kekurangan dan capaian yang diperoleh. Seperti antara lain persoalan banjir, kemacetan lalu lintas dan kebakaran di wilayah pemukiman padat penduduk. Termasuk pula berbagai kebijakan pemimpinnya yang kadang menimbulkan pro dan kontra warganya.

Tak ketinggalan tentu persoalan kesenian Betawi yang terasa mengalami degradasi.

Selamat HUT 491 Kota Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun