Was-was semakin menguat ketika rombongan mendekat. Bukan takut pada patung ondel-ondel yang berkumisnya melintang bagai ikan lele nemplok di bawah hidung mekar, tapi ngeri kepada para pemain musiknya yang kadang usil memukul mobil lewat jika mereka tidak diberi sumbangan.
"Gue nggak takut dan memang nggak perlu takut same ondel-ondel bekumis itu. Yang gue takutin cuma pemainnya kadang rada ganas," keluh seorang warga.
Kesenian ondel-ondel Betawi ini kini makin tergerus zaman. Dengan sebutan lain semaki kepepet dengan kesenian pop dan dangdut yang dimainkan dengan gerobak keliling kampung berisi peralatan musik di pasar tradisional pinggiran Jakarta.
Dan, bocah-bocah yang memainkan kesenian ini sebagai sarana meminta (minta) bantuan uang tanpa sengaja telah mendegradasi nilai kesenian Betawi itu sendiri. Lalu banyak pula di antara warga Ibu Kota mempertanyakan, beginikah kesenian yang diklaim sebagai miliknya orang Betawi.
Lagi pula jika diperhatikan, di antara pemain musik itu terasa tidak ada kekompakan. Suaranya ngalor-ngidul nggak tahu arah juntrungnya. Ngak ngek ngok. Sebagai warga Betawi, ya ikut sedih. Karenanya, harapan suara musik yang harmonis dengan cita rasa indah tidak dijumpai.
Gambarannya begini. Ketika bocah-bocah itu memainkan kesenian ini di tepi jalan, ada di antara pemain lebih fokus minta bantuan. Yang lain ada yang kelelahan mendorong gerobak. Ada yang kecemplung comberan di tepi jalan namun rekannya tak cepat memberi pertolongan. Malahan ikut tertawa bersama penonton.
Untung saja tidak disiramin aer comberan seperti pada lagu ondel-ondel itu sendiri. Meski begitu, dari realitas ini, penulis masih punya harapan kesenian ondel-ondel bisa tetap eksis kalau saja para pemangku kepentingan seperti Dinas Kebudayaan Pemda DKI Jakarta memberi perhatian serius.
Utamanya terhadap para seniman Betawi yang kini memasuki usia senja.
HUT kota Jakarta memang selalu diingatkan berbagai kekurangan dan capaian yang diperoleh. Seperti antara lain persoalan banjir, kemacetan lalu lintas dan kebakaran di wilayah pemukiman padat penduduk. Termasuk pula berbagai kebijakan pemimpinnya yang kadang menimbulkan pro dan kontra warganya.
Tak ketinggalan tentu persoalan kesenian Betawi yang terasa mengalami degradasi.