Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kala Tanah Pariwisata Dikuasai dan Dikomersialkan Secara Ilegal

20 Juni 2018   09:34 Diperbarui: 20 Juni 2018   20:30 2809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ciater, tempat air panas. Lahan rekeasi dikuasai secara ilegal, pasang tenda dan tiker lalu minta bayar sewa. Foto | Dokpri.

Jantung berdegup keras. Kepala terasa panas. Mata terasa melotot dengan pandangan kecewa menyaksikan tanah pariwisata dikuasai secara ilegal. Sementara publik tidak punya kuasa untuk meneriakan kekecewaannya.

Pada saat itu, jangankan menikmati kesejukan alam dengan tenang dan nyaman, untuk meletakan pantat saja sebagai tempat duduk terasa sulit, apa lagi untuk bercengkrama dengan anggota keluarga saat Lebaran itu. Itu tak lain disebabkan tanah pariwisata telah dikuasai secara ilegal.

Alam Provinsi Jawa Barat yang pada tahun-tahun lalu dapat dipandang elok, sejuk dan nyaman, pada Lebaran sekali ini telah membuat terasa sesak dada. Bukan lantaran kabut dengan rasa dingin dari Tangkuban Perahu, bukan pula dari uap air panas dari Subang, dan bukan pula kuda-kuda yang elok membawa para bocah di kawasan itu. Tapi, lagi-lagi, karena sulitnya meletakan pantat sebagai tempat duduk sambil menjulurkan kaki di kucuran air panas.

Kawasan pariwisata memang saat Lebaran tengah memanen pendapatan. Pengunjung berlimpah melebihi dari batas normal. Semua itu karena karunia Tuhan berupa keindahan dan segala manfaatnya bagi manusia. Dan manusia pulalah sebagai khalifah di permukaan bumi yang mengatur semua itu agar keindahan dan kenyamanan dapat dinikmati sebagai ungkapan rasa syukur mahluknya kepada sang maha pencipta.

Sayangnya, kepentingan publik telah dikorbankan. Harga teket yang melambung tak sebanding dengan kenikmatan dan kenyamanan yang harus didapat. Bisa jadi, hanya karena dorongan anggota keluarga dan waktu luang dari libur panjang saat Lebaran itu banyak orang mendatangi kawasan wisata.

Di kawasan Ciater, pengunjung penuh sesak. Antarpengunjung sering bersenggolan. Gadis-gadis genit pun tidak peduli lingkungan, tetap saja berangkulan dengan kekasih tercintanya. Ini terasa sekali membangkitkan selera muda, memang.

Lagi-lagi, sangat disayangkan, untuk mencari tempat duduk sulit. Di sejumlah aliran sungai kecil telah jadi kawasan persewaan. Tikar dihampar di sejumlah titik. Sehingga setiap pengunjung harus mengeluarkan uang ratusan ribu hanya untuk duduk sambil menikmati kaki terendam air panas. Para pengunjung membayar tanpa bon atau tanpa terima pembayaran. Ini jelas, ilegal.

Ciater, tempat air panas. Lahan rekeasi dikuasai secara ilegal, pasang tenda dan tiker lalu minta bayar sewa. Foto | Dokpri.
Ciater, tempat air panas. Lahan rekeasi dikuasai secara ilegal, pasang tenda dan tiker lalu minta bayar sewa. Foto | Dokpri.
**

Jika anda pergi ke kawasan wisata di Selandia Baru, bisa jadi akan menjadi kenangan indah. Di negeri ini, objek wisata berupa keindahan alam tak berbeda jauh dengan yang ada di dalam negeri. Misalnya tentang gua dan aliran sungainya yang dialiri air berkelok dingin. Termasuk tanah-tanah kapur mengeluarkan asap karena banyaknya belerang.

Kala memasuki kawasan wisata, para pemandu wisata menjemput kita di pintu gerbang dengan salam "adu hidung". Karena hidung orang dari Asia 'pesek', ya tak menyentuh hidung para penyambut tamu itu, kita cuma bisa tertawa dan si penyambut tamu merasa senang menyaksikan tamunya tertawa terpingkal-pingkal.

Kala ada memasuki kawasan wisata Pulau Santoso, di Singapura, misalnya. Para pemandu wisata di sana bersikap ramah. Meski mereka ada di antaranya mengerti Bahasa Indonesia, tetapi mereka lebih suka menggunakan Bahasa Inggeris sekaligus untuk memunculkan kesan bahwa kasawan itu dikelola dengan standar internasional.

Sayangnya, ketika turis dari Indonesia datang, para pemandu wisata sedikit merasa kesal tanpa menghilangkan keramahan lantaran tidak patuh bagaimana menjaga kebersihan. Kalau saja para pemandu itu tidak cepat membuang sampah yang ditinggalkan turis ke tempat pembuangan semestinya, bisa jadi wisatawan dari Indonesialah paling banyak dikenakan sanksi berupa denda.

**

Jika membandingkan pelayanan wisata di luar negeri dengan lokal di negeri ini, memang terasa tidak sepadan. Kata anak zaman now harusnya apple to apple, jangan membandingkan apel dengan jeruk.

Namun ada baiknya pula diperhatikan bahwa untuk meningkatkan pelayanan adalah hak bagi setiap pengunjung kawasan wisata. Misalnya, tidak menyewakan tanah wisata dengan cara menggelar tikar. Bukankah pengunjung sudah membayar tiket masuk?

Penulis memberi apresiasi kepada pelayanan wisatawan di Tangkupan Perahu, yang dengan sabar mengatur aliran mobil naik ke kawasan pucak kawah. Di dalam tidak ada pungutan parkir liar dan di setiap tanjakan ditempatkan petugas yang melayani dengan ramah.

Sayangnya, di kawasan tempat lain, sekalipun sudah membayar tiket masuk tapi dalam masih dikenakan pungutan parkir lagi. Belum lagi anu dan itu. Termasuk kebersihan tidak dijaga dengan baik.

Seyogianya, para pengelola wisata di Jawa Barat, termasuk di Jakarta seperti Ancol dan Ragunan, sudah dapat menggunakan Kartu Uang Elektronik (KUE) mengingat para pengunjung yang kebanyakan dari wilayah Jakarta dan sudah familiar menggunakannya. Dengan cara itu, antrean masuk dan uang parkir yang masuk dapat terkontrol dengan baik.

Bukankah kartu tol saja sudah bisa untuk belanja di swalayan, bayar pakir dan bensin?

Kawasan wisata di Jawa Barat juga sudah harus membuat aturan. Jika memang ke kawasan wisata dilarang makan di areal wisata harus didukung dengan Perda. Ditempatkan papan pengumuman. Bukan petugasnya memberi ancaman denda, seperti banyak dikeluhkan pengunjung "digertak" denda jutaan rupiah karena membawa makanan untuk dikonsumsi di areal wisata.

Karunia Tuhan berupa keindahan alam yang dimanfaatkan untuk wisata sayogianya memang untuk dinikmati publik. Bukan dikomersialkan secara ilegal. Apa lagi diatur dengan cara tidak menyenangkan.

Jika keadaan demikian masih saja terus berlangsung, dapat dipastikan kita tidak bakal menjadi tuan rumah wisatawan yang ramah di negeri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun