Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kala Tanah Pariwisata Dikuasai dan Dikomersialkan Secara Ilegal

20 Juni 2018   09:34 Diperbarui: 20 Juni 2018   20:30 2809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ciater, tempat air panas. Lahan rekeasi dikuasai secara ilegal, pasang tenda dan tiker lalu minta bayar sewa. Foto | Dokpri.

Sayangnya, ketika turis dari Indonesia datang, para pemandu wisata sedikit merasa kesal tanpa menghilangkan keramahan lantaran tidak patuh bagaimana menjaga kebersihan. Kalau saja para pemandu itu tidak cepat membuang sampah yang ditinggalkan turis ke tempat pembuangan semestinya, bisa jadi wisatawan dari Indonesialah paling banyak dikenakan sanksi berupa denda.

**

Jika membandingkan pelayanan wisata di luar negeri dengan lokal di negeri ini, memang terasa tidak sepadan. Kata anak zaman now harusnya apple to apple, jangan membandingkan apel dengan jeruk.

Namun ada baiknya pula diperhatikan bahwa untuk meningkatkan pelayanan adalah hak bagi setiap pengunjung kawasan wisata. Misalnya, tidak menyewakan tanah wisata dengan cara menggelar tikar. Bukankah pengunjung sudah membayar tiket masuk?

Penulis memberi apresiasi kepada pelayanan wisatawan di Tangkupan Perahu, yang dengan sabar mengatur aliran mobil naik ke kawasan pucak kawah. Di dalam tidak ada pungutan parkir liar dan di setiap tanjakan ditempatkan petugas yang melayani dengan ramah.

Sayangnya, di kawasan tempat lain, sekalipun sudah membayar tiket masuk tapi dalam masih dikenakan pungutan parkir lagi. Belum lagi anu dan itu. Termasuk kebersihan tidak dijaga dengan baik.

Seyogianya, para pengelola wisata di Jawa Barat, termasuk di Jakarta seperti Ancol dan Ragunan, sudah dapat menggunakan Kartu Uang Elektronik (KUE) mengingat para pengunjung yang kebanyakan dari wilayah Jakarta dan sudah familiar menggunakannya. Dengan cara itu, antrean masuk dan uang parkir yang masuk dapat terkontrol dengan baik.

Bukankah kartu tol saja sudah bisa untuk belanja di swalayan, bayar pakir dan bensin?

Kawasan wisata di Jawa Barat juga sudah harus membuat aturan. Jika memang ke kawasan wisata dilarang makan di areal wisata harus didukung dengan Perda. Ditempatkan papan pengumuman. Bukan petugasnya memberi ancaman denda, seperti banyak dikeluhkan pengunjung "digertak" denda jutaan rupiah karena membawa makanan untuk dikonsumsi di areal wisata.

Karunia Tuhan berupa keindahan alam yang dimanfaatkan untuk wisata sayogianya memang untuk dinikmati publik. Bukan dikomersialkan secara ilegal. Apa lagi diatur dengan cara tidak menyenangkan.

Jika keadaan demikian masih saja terus berlangsung, dapat dipastikan kita tidak bakal menjadi tuan rumah wisatawan yang ramah di negeri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun