Ibadah umrah dewasa ini menjadi idaman bagi setiap muslim di jagad bumi nusantara ini. Kok bisa begitu, ya? Apa sih yang menyebabkan animo umrah begitu diminati. Bukankah ibadah ini tidak termasuk wajib bagi setiap insan penganut Islam sejati.
Pada penghujung Ramadhan ini, animo umrah demikian tinggi dari tanah air. Ada yang beranggapan, umrah di bulan puasa sama besar pahalanya dengan melaksanakan ibadah haji. Warga Arab Saudi sendiri memang saat Ramadhan ini banyak mengambil waktu untuk ibadah di Masjidil Haram. Karenanya, saat ini, Masjidil Haram - meski sudah diperluas - tetap penuh sesak.
Umrah masuk kategori ibadah sunah. Kalaupun dianjurkan, tentu hanya terbatas bagi yang memiliki dukungan uang memadai. Sadar bahwa ibadah ini juga butuh dana besar, mengapa tidak sekalian saja digunakan biayanya untuk ibadah haji?
Sungguh, animo untuk menunaikan umrah makin tinggi tidak lepas dari realitas ekonomi negeri yang  membaik dan kesadaraan keimanan makin tebal. Karenanya, maka setiap tahun umat Muslim menunaikan ibadah umrah tak pernah surut. Bahkan terus meroket angkanya.
Tercatat peningkatan perjalanan umrah pada 2015 sebanyak  717 ribu naik pada 2016 menjadi 818 ribu orang. Peningkatan jumlah jamaah yang menggembirakan itu juga disebabkan  "ghirah" agama yang meningkat, implikasi regulasi Kemenag yang membatasi haji berulang minimal 10 tahun untuk memberi kesempatan jamaah yang belum pernah haji lagi, dan kebijakan Pemintah Arab Saudi yang memiliki visi meningkatkan wisata haji dan umrah pada 2030.
Jadi, jelas bahwa fenomena meningkatkan umrah ini ternyata punya pertalian erat dengan penyelenggaraan ibadah haji. Ini juga sekaligus menjawab pertanyaan, mengapa setiap insan muslim tidak memanfaatkan biaya umrah yang mahal itu untuk ibadah haji.
Haji hukumnya wajib bagi setiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat istita'ah (sehat dari sisi fisik dan akal budi -- kesehatan - , sehat finansial dan memiliki bekal bagi anggota keluarga yang ditinggalkan).
**
Antrean panjang itu menyebabkan seseorang harus menunggu demikian lama. Bisa 20 tahun ke atas dan itu juga sangat bergantung dari banyak atau tidaknya umat yang akan menunaikan ibadah haji di satu wilayah. Jika kepadatan penduduknya tinggi, ya bisa jadi makin lama seperti di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Banjarmasin, Makasar dan Nusa Tenggara Barat.
Termasuk sejumlah kota lainnya di Sumatera yang mayoritas warganya muslim seperti Palembang, Padang, Medan dan Aceh akan mengalami perlakuan sama.
Kuota haji Indonesia pada 2018 sebanyak 221 ribu orang. Indonesia adalah negara terbesar di dunia yang mengirim jemaah haji setiap tahunnya. Nah, meski sebagai pengirim jemaah terbanyak nyatanya daftar tunggu dalam antrean pergi haji tetap panjang dan lama. Ini tidak lain karena animo pergi haji tidak pernah kendur sepanjang tahun.
Kuota haji ditetapkan oleh negara organisasi kerja sama Islam atau OKI Â dan pihak otoritas pemerintah Arab Saudi. Besarannya adalah satu per seribu orang untuk setiap negara muslim. Jika penduduk negara Muslim misalnya 17 juta jiwa, maka angka tersebut dibagi 1.000 yang artinya 17.000 dapat menunaikan ibadah haji. Namun realitasnya tidak demikian, semua terpulang kepada pihak Arab Saudi dalam keputusan besaran kuota itu.
Menyaksikan fenomena animo pergi haji selalu tinggi, sebagian umat Muslim yang kini "ngebet" melihat Baitullah, Ka'bah di komplek Masjidil Haram, Mekkah, mengalihkan niat pergi haji menjadi pergi umrah.
Nah, inilah alasan utamanya. Kerinduan shalat di Masjidil Haram dan beribadah di muka ka'bah adalah panggilan jiwa bagi setap muslim. Sayangnya, hanya orang yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi menjadikan ibadah umrah sebagai ibadah yang harus diperjuangkan. Kala mendapat kabar biaya umrah murah, merek ini tergiur. Muaranya, berujung tertipu.
Memang berbeda bagi orang yang memiliki kecukupan finansil. Kita saksikan - meski tidak semua orang - ibadah umrah (bahkan pergi haji) dijadikan ajang rekreasi dan "pamer" kekayaan.
Kita hanya berharap, nilai ibadah tersebut melekat kuat dalam sanubari dan berefek membawa perubahan baik bagi diri sendiri maupun masyarakat sekitar. Bukan seperti terlihat di layar televisi, selebritis berumrah unjuk pakaian yang dikenakan ketimbang bagaimana melaksanakan umrah yang baik agar dapat memberi edukasi kepada publik.
**
Upaya pemerintah untuk melindungi umat terjerat dari pelaku 'tangan kotor' dalam pelaksanaan umrah terus dilakukan. Namun hal itu tidak dapat dilaksanakan sendiri. Dukungan parlemen sangat penting, mengingat regulasi haji dan umrah termasuk pengawasannya ada di legislatif.
Ingat, penetapan besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) selalu diambil di gedung parlemen bersama pemerintah (Kemenag). Sementara derita umat terlantar dan 'tangis' keras sudah sering digaungkan dan ditanggapi anggota dewan. Ujungnya, penanganan dan perlindungan jemaah umrah ternyata belum menggembirakan.
Penyelenggara perjalanan ibadah umrah, yang dikenal PPIU, memang harus diawasi ketat. Ternyata, realitas di lapangan, pengawasan penyelenggaran umrah atau biro perjalanan harus ditangani secara komprehensif, melibatkan institusi lain: kepolisian, OJK, PPATK, Imigrasi, Bea Cukai, lembaga konsumen dan  Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.
Menariknya, ternyata KPPU Â yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak sepenuhnya mendukung penetapan biaya termurah Rp 20 juta itu.
Kita tahu aturan itu dimaksudkan untuk menghindari jemaah dari penipuan oleh  biro travel. KPPU tidak pernah menyuarakan dukungan kebijakan Kemenag dan cenderung besaran biaya umrah dilepas ke pasar bebas.
KPPU tidak setuju Kemenag menetapkan biaya minum, karena dinilai belum tentu memperbaiki kualitas pelayanan. Seperti pernah disampaikan Ketua KPPU Syarkawi Rauf, pihaknya memang pernah menekankan agar  travel-travel penyelenggara umrah nakal segera dicabut izinnya. Terpenting, di mata KPPU, adalah standar pelayanannya yang diperbaiki.
Terakhir, Kemenag mengeluarkan jurus SIPATUH. Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji Khusus atau SIPATUHÂ adalah sistem layanan berbasis elektronik (web dan mobile). Diyakini sistem tersebut dapat meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah dan haji khusus. Kita masih menanti, seberapa efektif sistem tersebut.
Belakangan ini terdengar usulan, agar Kemenag membuat aturan agar setiap PPIU menyerahkan bank garansi, termasuk memberlakukan asuransi bagi setiap jemaah. Selain itu juga dikuatkan dengan pengawasan penyelenggara ibadah umrah, seperti yang berlaku dalam penyelenggaran ibadah haji.
Dengan cara itu, biro perjalanan umrah bukan hanya terkena sanksi izin dicabut ia tak bisa lepas tanggung jawab dari jemaah yang terlantar. Nah, jemaah yang terlantar itulah kemudian dapat diurus kepulangannya ke tanah air oleh pemerintah atas rekomendasi pengawas penyelenggaran umrah. Dengan cara itu, ketenangan jemaah umrah  dapat dijamin lantaran ada kepastian tidak ditelantarkan.
Sederhana, kan? Tapi, harus diantisipasi, Â 'tangan kotor' masih gentayangan dan mencengkeram biro penyelenggara umrah. Hal ini harus diwaspadai karena bisa mengganggu pelaksanaan perbaikannya di lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H