Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cemong Melayani Konsultasi Politik

25 April 2018   19:53 Diperbarui: 25 April 2018   23:04 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Cemong selalu membuka kepada siapa saja untuk konsultasi. Foto | manusiadumay.wordpress.com

Entah nasib apa sebabnya Retno Sariningtias, salah seorang mahasiswa di perguruan tinggi terkenal di Jakarta kemudian oleh rekan-rekannya dipanggil Cemong. Sebutan yang dilebelkan ke dirinya hingga kini masih tetap melekat. Padahal, sudah hampir 20 tahun. Teman-teman sealumninya hingga sekarang masih saja tetap memanggil dengan sebutan itu.

"Cemong, lu sekarang tinggal dimana. Masih di Grogol?" Akbar, rekannya menanyakan tentang kabar Retno Sariningtias belakangan ini.

Retno jika sudah dipanggil demikian tidak bisa memprotes. Apa lagi yang memanggil rekan satu tim ketika belajar di kediamannya. Ia pun tak bisa mengelak ketika rekan-rekan lain satu tim bola basket memanggil dengan nama serupa. Tidak kuasa dan tidak berdaya lagi untuk memprotes.

Suatu saat Retno merasa kesal dengan panggilan itu. Ia memaksakan diri bertanya ke beberapa temannya tentang asal muasal sebutan Cemong itu. Ternyata, tidak satu pun ada yang tahu. Pokoknya, muncul sebutan itu begitu saja dan ia pun merasa heran kenapa sejak awal menerimanya dengan ikhlas.

Cemong artinya belepotan. Sama seperti ketika empat orang yang bermain kartu domino dan yang kalah mukanya diberi tanda hitam. Karena sering mengalami kekalahan dalam permainan berbau judi, biasanya si pemenang memberi tanda hitam kepada muka rekannya yang kalah itu. Tentu saja kotor, belopotan. Itulah muka yang cemong namanya.

"Nggak pantas kan gue dipanggil cemong. Memang rada item sih, tetapi nggak item (hitam) amat sih. Ya, item manislah. Kaya' penyanyi Ida Royani tempo doeloe itu tuh," kata Cemong membesarkan hatinya sendiri.

Tapi ia merasa beruntung juga. Anggota keluarganya tidak ada yang tahu ia punya label sebutan cemong. Andai pun tahu, tokh nggak terlalu penting amat sih. Paling-paling menerima apa adanya. Apa lagi, rekan-rekannya merasa akrab memanggil dirinya dengan cemong meski mereka toh tahu bahwa sebutan itu tidak dimaksudkan untuk menjauhkan dirinya dari pergaulan.

"Emang emak lu protes dipanggil cemong?" Ida menanyakan itu.

"Nggak sih. Tapi itu kan tidak baik. Apa nggak pakai panggilan Retno aja?"

"Itu kan hanya sebutan. Nggak usah terlalu dipikirkan. Yang penting, di antara teman-teman lainnya, lu yang paling sering disebut duluan kalau ada acara kumpul alumni kita," Ida menjelaskan dan berharap rekannya itu tidak terlalu memikirkan tentang prihal sebutan cemong.

"Terima aja," Ida menegaskan sambil berharap agar sahabatnya itu tidak terus menerus memikirkan prihal panggilan dirinya dengan sebutan Cemong.

**

Belakangan ini Cemong makin sibuk. Ia sering kedatangan tamu tidak dikenal. Kabarnya, kebanyakan berasal dari luar kota. Kadang datang menjelang shalat magrib, kadang ada yang datang pada jam tiga malam. Menjelang shalat Subuh kadang tamu datang dari luar kota.

Suaminya, Irsan bingung. Dikiranya teman-teman alumninya. Awalnya ia maklum, teman-teman kuliah Cemong sedari dulu hingga sekarang kadang datang tidak memperhatikan waktu. Waktu istirahat atau saat tuan rumah tengah berbenah di dapur.

Tapi, ini yang datang adalah para tamu tidak dikenal. Dan, Cemong pun menerimanya dengan ikhlas. Dilayaninya tamu yang berkunjung ke kediamannya satu per satu, saat yang datang bersamaan waktunya.

Irsan, sang suami, akhirnya dapat menerima kenyataan itu. Kalau dahulu tamu yang datang kadang bisa nyelonong langsung ke dapur menemui Cemong, sekarang berbeda. Para tamu terlihat perlente, keren. Pakai mobil mewah. Tetapi tidak langsung menemui Cemong di dapur lagi. Mereka duduk di ruang tamu. Kadang AC di ruang itu tidak sempat dimatikan karena saking banyaknya tamu datang tiba-tiba.

Akhirnya Irsan tahu, para tamu yang datang tidak kenal waktu itu bermakud berkonsultasi dengan Cemong, si isteri tercinta. Irsan memang awalnya bingung karena para tamu yang datang bertanya tentang ini dan itu. Prihal kehidupan dan pembicaraan akhirnya berujung pada konsultasi keikutsertaan si tamu mengenai Pilkada.

"Wah, kok isteri gue jadi begini. Kaya dukun aja," kata Irsan sambil ngedumel seorang diri. Apa lagi di tahun Pilkada, ia khawatir yang berkonsultasi terus membludak.

**

Akhir-akhir ini nama Cemong makin dikenal. Para tetangganya pun baru tahu kala para tamu menanyai kediaman Cemong, bahwa yang dimaksud pemilik nama itu adalah Retno Sariningtias.

"Kalo alamat ini mah rumah Irsan atau Ibu Retno. Bukan Cemong!" kata seorang tetangga meluruskan seorang tamu yang bertanya tentang kediaman Cemong.

Cemong sendiri juga tidak tahu dan paham, mengapa ia sering didatangi tamu. Ia menduga, bisa jadi peristiwa ini terjadi lantaran rekan-rekan sealumninya sering bertanya tentang kehidupan rumah tangga dan pekerjaan yang dihadapi.

Lalu, atas kelebihan yang dimiliki pada Cemong, mereka merekomendasikan kepada orang lain bahwa persoalan serupa dapat dikonsultasikan kepadanya.

"Ah, ngapain amat gue pikirin!" ujar Cemong seorang diri tentang mengapa sekarang ia banyak didatangi tamu.

Bagi Cemong, sekarang ini, apa yang bisa dibantu ketika seseorang minta bantuan. Kalau tidak bisa, ya tidak usah disampaikan. Hal serupa itu sudah dilakukan ketika rekan-rekan sealumninya datang. Para tamu yang datang hanya konsultasi, minta pendapat. Saran dan solusinya.

"Kalau bisa dijawab, ya jawab. Dijelaskan," kata Cemong kepada suaminya, suatu saat ketika Irsan menanyakan prihal tamu tidak dikenal dan berkonsultasi.

"Bagaimana jika para tamu yang datang politisi?" tanya Irsan.

Lantas, Cemong pun bercerita panjang lebar.

Umumnya mereka itu, politisi, mengonsultasikan tentang bagaimana caranya meraup suara paling banyak saat Pilkada. Aturan sudah jelas. Mereka memaksa, apakah cara memberi sembako gratis itu bisa membuahkan hasil atau tidak. Dapat perolehan suara dan dukungan banyak.

"Atau, cara bergerilya. Mengembangkan taktik dan siasat ke lokasi pemukiman. Mendatangi warga dari satu rumah ke rumah lain. Mirip seperti serangan fajar, gitu loh," cerita Cemong kepada sang suami tercinta.

"Tapi, mereka pasti bohong. Serangan fajar juga nggak bisa dilakoni. Soalnya, orang itu pembohong. Dari pengakuannya saja ia punya isteri lebih dari tiga, tidak diberlakukan adil pula. Orang tuanya di kampung ditelantarkan. Mana ada sih orang macam itu jujur. Apa lagi sudah menelantarkan orang tuanya sendiri," ceritanya.

"Lalu, kalo disuruh membersihkan dan mencuci kaki ibunya dikatakan sudah. Padahal, tidak dilakukan," ujar Cemong dan menambahkan, umumnya mereka itu tidak 'pede'. Tidak yakin ada Tuhan.

"Loh, bagaimana bisa tahu mereka itu berbohong," Irsan mendesak isterinya untuk menjelaskan lebih detail.

"Tidak sulit itu. Coba perhatikan dari cara mereka bicara, gaya bicara, gerak bibir dan raut muka, dari bahasa tubuh yang terlihat gelisah. Sorot matanya yang liar ketika diajak bicara serius. Dari kedipan matanya saja bisa dipahami. Politisi seperti itu pembohong," Cemong menjelaskan.

"Hebat, isteri gue bisa tahu politisi pembohong," kata Irsan, suami tersayang, memuji kelebihan Cemong dalam hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun