Di RS Paru, banyak diproduksi singkong racun dalam bentuk kapsul. Banyak warga Jakarta mendatangi rumah sakit paru tersebut bukan untuk berobat penyakit paru, tetapi mencari anggota Satpam setempat yang menjual kapsul singkong racun.
Kadang, petugas keamanan di situ juga menjual pohon singkong racun untuk ditanam di halaman rumah para pembelinya.
Penulis tak tahu apakah kapsul singkong racun untuk mengobati penyakit kanker itu masih berlangsung hingga kini?
**
Tatkala berkunjung ke ruang praktek dr. Todotua Simanjuntak mengantar salah seorang anggota keluarga, penulis menyaksikan tumpukan singkong racun yang baru dicabut berhamparan di lantai ruang praktek.
Seusai memeriksa pasien dan beberapa bagian benjolan, lalu pasien diwawancarai. Sebelum beranjak meninggalkan ruang praktek, pasien diberi petunjuk cara mengonsumsi singkong racun. Caranya, seingat penulis, singkong tidak dikupas. Tetapi dikerik hingga kulit yang kotor hingga hilang. Yang diambil pun tidak banyak, sekitar satu ruas jari kelingking.
Bisa jadi, satu buah singkong baru habis dikonsumsi dalam satu bulan. Sebab, yang diambil secuil-secuil.
Nah, singkong racun satu ruas jari kelingking itu kemudian diparut. Setelah diparut, bukan diperas. Tetapi dibuat seperti bakso bulat. Singkong parutan dalam bentuk bulat itulah yang kemudian dikonsumsi. Diminum dengan air putih.
Mengonsumsi singkong racun itu dilakukan sebelum tidur (malam) dan setelah bangun tidur (pagi hari).
Agar kesembuhan penyakit kanker itu cepat membuahkan hasil, penulis mendapat nasihat agar ramuannya ditambah. Yaitu, memeras daun kayu putih dengan cara ditumbuk ditambahkan sedikit kayu manis. Lalu, air daun kayu putih yang diperas sekitar satu sendok makan diminum bersama singkong racun tadi.
Penulis bukan ahli herbal atau pun memahami kandungan apa saja yang ada dalam singkong racun, kayu manis dan daun kayu putih. Tetapi hanya ingin menyampaikan bahwa sistem pengobatan yang dilakukan dua dokter itu menghadapi tantangan, tidak boleh dipopulerkan saat itu. Apa pasalnya, menurut Todotua Simanjuntak, karena para dokter akhli bedah tidak ingin mendapat saingan.