Di tahun Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, upaya menaikan citra untuk menarik simpati warga banyak cara. Seperti di antaranya sering tampil di layar kaca atau televisi, membuat pernyataan kontroversial hingga mengusik hak wilayah pribadi seseorang.
Media massa adalah sarana efektif untuk membentuk citra. Apakah hasilnya bisa positif atau negatif, semua tergantung dari isu yang 'dimainkan'. Karena itu, dalam Pilkada, sering kali kita menjumpai para kandidat memiliki tim sukses masing-masing.
Tim sukses, atau populer dipanggil timses pemenangan bersama jajaran manajemennya mempelajari berbagai aspek. Termasuk isu apa saja yang hadir di tengah masyarakat. Bisa isu lapangan kerja, ketimpangan ekonomi atau kelangkaan rumah ibadah bagi warga.
Paling murah dan gampang adalah memainkan isu suku, agama, ras dan antargolongan atau SARA. Tapi, bila isu yang diangkat tidak terasa menyentuh kebutuhan warga, bisa jadi malah melemahkan posisi sang kandidat.
Karena itu, timses dalam bekerja harus didukung dengan kajian akademik. Maka, muncul pula kebutuhan untuk menghadirkan pentingnya tim survei dengan tim logistiknya.
**
Di sini, penulis tidak bermaksud membahas bagaimana pentingnya membentuk citra. Bukan pakarnya, baik untuk kebutuhan kandidat pada pilkada ataupun kepentingan meningkatkan penjualan terhadap suatu produk.
Tetapi penulis ingin memberi apresiasi terhadap Kepolisian RI. Institusi ini demikian cepat mengambil keputusan terhadap anggotanya yang dianggap salah dalam bertindak di lapangan.
Seperti diberitakan Kepala Polres Banggai, AKBP Heru Pramukarno dicopot dari jabatannya setelah insiden pembubaran paksa barisan ibu-ibu setempat yang menentang eksekusi tanah, dengan menggunakan tembakan gas air mata.
Saat itu para ibu setempat membentuk barisan. Mereka melantunkan shalawat serta takbir guna menahan aparat yang hendak menggusur rumah. Bentrokan antara polisi dengan massa tidak dapat dihindari.
Polisi akhirnya menggunakan tembakan gas air mata. Itu dilakukan setelah warga mulai melempar batu ke arah polisi.
Pencopotan itu diduga karena ada indikasi pelanggaran oleh jajaran Polres Banggai kala mengamankan pembebasan lahan seluas 20 hektare, di Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah, Senin (19/3).
Indikasi itu adalah, seperti disebut Kepala Divisi Humas Kepolisian Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto, di Jakarta, Sabtu (24/3/2018), apabila massa yang menghalangi eksekusi pembebasan lahan adalah para perempuan maka harus diterjunkan para wanita polisi, bukan para laki-laki polisi.
Kita pun tahu bahwa untuk membubarkan massa, polisi memiliki prosedur standarnya. Yakni, upaya pertama bernegosiasi. Bila negosiasi tidak mencapai kata sepakat, maka dilakukan pendekatan secara humanis. Pendekatan ini sangat penting. Misalnya, dengan menyertakan tokoh masyarakat atau pemuka agama.
Apabila negosiasi juga tidak membuahkan hasil, tidak ada aturan dalam mengamankan jalannya unjuk raja dapat disusul dengan tembakan gas air mata.
Sangat logis apabila Propam Kepolisian Indonesia lalu meminta keterangan kepala Polda Sulawesi Tengah dalam kasus ini.
**
Sikap tegas Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) terhadap anak buahnya di daerah boleh jadi dapat disebut menjaga citra korps Bhayangkara itu sendiri.
Hal ini sejalan dengan tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Polri berkewajiban memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Â Â
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, Â Pasal 4, menegaskan bahwa tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Nah, jika sudah menyinggung hak asasi atau HAM tentu berbagai kasus untuk penanganannya harus ekstra hati-hati. Salah langkah bisa menjadi isu merugikan citra kepolisian itu sendiri. Ya, seperti di kasus di Banggai itu.
Beruntung petinggi kepolisian bertindak cepat. Jika tidak, bisa jadi isu penanganannya bukan lagi pada inti masalah, yaitu pembebasan lahan dan salah prosedur tetapi pada isu agama.
Mengapa? Ya, lantaran di situ ada para ibu tengah membaca shalawat yang dibubarkan dengan tembakan gas air mata. Bisa jadi peristiwa itu lantas disusul isu miring dan berita hoaks. Â
Pencitraan memang kini menjadi penting, karena dari situ dapat berefek kepada pembentukan opini publik dan berujung pada kepercayaan terhadap institusi kepolisian.Â
Opini publik, menurut penulis, akan menjadi pendukung moril terhadap eksistensi lembaga kepolisian. Dan, bisa jadi langkah petinggi kepolisian itu semata dimaksudkan untuk menegakan aturan. Ternyata berefek pada pembentukan citra positif bagi kepolisian.
Semoga kepercayaan kepada institusi ini semakin bagus di tengah menghadapi tugas berat pada tahun Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H