Raja Singa mengaum. Di depan forum kumpulan prajurit tikus yang tengah mempersiapkan pemilihan raja bagi dirinya tiba-tiba merasa ketakutan. Ada yang berlari ke pojok ruang, berlari ke luar ruang dan sembunyi di di gang sempit. Kursi-kursi berantakan dan berjungkir balik karena terpental ketika tikus begitu kuatnya merasa takut mendengar suara si raja rimba itu.
Raja Singa memasuki ruang yang telah berantakan. Ia bangga. Tidak ada lawan yang berani menghadapiya. Tikus saja ngibrit, lari ke jalan-jalan sempit. Jika saja mereka ada di situ, pasti akan dilumatnya. Tapi, dagingnya tidak enak kan? Pikirnya.
Untuk menghancurkan kerajaan tikus memang tidak sulit. Dengan cara menginjak satu ekor saja, semua bakal kabur melihat wajahnya yang gagah, ganteng, cerdas, pandai bersilat lidah dan punya pengikut di sejumlah kerajaan politik di sejumlah komunitas. Wuih, pokoknya hebat. Ia pun punya sejumlah gelar bergelayutan, sebagai tokoh yang diakui kompetensinya di bidang intelektual dan relegius pula.
Karenanya, ambisinya untuk menguasai kerajaan-kerajaan kecil mudah digapai. Tapi tidak dengan kerajaan tikus yang tengah melakukan pemilihan raja. Lantaran si Raja Singa memiliki kehebatan dan mudah dilakukan kapan dan di mana pun, maka untuk mempengaruhi kerajaan tikus cukup dengan cara mengaum saja.
Di hadapan kumpulan tikus yang bersembunyi, ada yang di balik meja, balik pintu hingga lorong sempit hingga loteng gedung, si Raja Singa berucap dengan suara keras.
Katanya, "Sayalah raja kalian. Raja kalian tidak bisa memberi ketenangan, ketentraman dan kedamaian karena tidak ada kesejahteraan di kerajaan ini."
"Kalian sudah diperdaya. Lahan yang diberi identitas bukan untuk dimiliki, tapi tercatat untuk dikuasai dan dijual ke asing," lanjut si Raja Singa.
"Keluarlah kalian dari persembunyian," pinta si Raja Singa.
Satu, dua hingga 10 ekor tikus keluar memberanikan diri dari persembunyian. Mereka menghadap si Raja Singa. Lantas, mereka disambut dengan tawa auman bersahabat. Tapi, para tikus tetap merasa ketakutan. Namun mereka tetap bertahan di tempat. Mereka pikir, lari pun tidak bisa. Sebab, dalam sekejap saja pasti dapat dipijaknya. Lalu, ya mati lah.
Satu dari 10 ekor tikus yang menghadap si Raja Singa tahu persis tentang watak kehidupan raja hutan itu. Sebut saja tikus tersebut adalah Panglima Perang.
Dalam catatan di benak Panglima Perang, si Raja Singa sangat takut dengan isteri dan anak-anaknya. Namun dia paling doyan perempuan dan sering keluyuran ke komunitas prostitusi. Di situ, siapa pun yang menjadi mitranya dilahapnya dengan mudah. Jika ia kedapatan berada di lingkungan pelacur, ia mengangkat alasan, tengah mencari dukungan.
"Jujur saja saya ini politisi ulung," kata si Raja Singa ketika berpidato di kumpulan warga prostitusi, dan disambut gegap gempita tepukan tangan.
Di tengah kerumunan para perempuan penjaja seks komersial itu, muncul satu orang menuju panggung. Ia bercerita tentang negeri yang bakal bubar lantaran dikelola tidak sebagaimana mestinya. Perempuan itu juga melapor sertifikat yang diterima hanya dimaksudkan untuk membangun citra penguasa.
Lantas, si pelacur itu menambahkan dan meminta agar si Raja Singa tidak bosan-bosan datang ke komunitas itu. Sebab, dukungan akan diberikan untuk memuluskan si Raja Singa sebagai raja sejati di seantaro jagat.
Apa lagi, katanya, para PSK di situ mengaku semuanya masih perawan.
Mendengar penjelasan itu, si Raja Singa makin bangga dengan dirinya. Ia pun menyambut dengan gembira. Apakah seluruh pernyataan itu datang dengan jujur atau tidak, bohong atau palsu, hoaks atau bukan, terpenting mereka menyatakan memberi dukungan.
Sepak terjang si Raja Singa ini terekam kuat dalam ingatan oleh Panglima Perang yang tengah menghadap si Raja Singa.
Panglima Perang memberanikan diri bicara. Sementara itu, rekan-rekannya, sembilan ekor tikus lainnya yang sama-sama menghadap merasa takut. Keringat pun membasahi tubuh mereka. Maklum, yang dihadapi si Raja Singa yang namanya populer di jagat perpolitikan dan lingkungan akademis.
Para tikus itu sadar betul, apa pun alasan dan argumentasi menentangnya pasti dapat dimentahkan. Si Raja Singa gagah, pintar, kuat, berani dan menakutkan. Sulit dikalahkan dari berbagai sisi.
Tapi itu semua tidak berlaku bagi Panglima Perang Tikus.
Kata si Panglima Perang, sudilah kiranya tuan Raja Singa duduk bersama di kursi, dengan meja bundar. Tuan bisa senang mendengar berbagai hal, sehingga bisa memuluskan tuan menjadi raja sejati. Itu mudah diatur.
Mendengar kata-kata manis si Panglima Perang, si Raja Singa luluh hatinya. Ia pun bersedia duduk meriung bersama 10 ekor tikus. Di forum itu, si Raja Singa memperlihtkan kewibawaannya sebagai orang intelek, berani dan bijakana.
Panglima Perang membuka pembicaraan. Katanya, sudilah tuan yang terhormat untuk tidak bicara sesaat ketika saya sedang menyampaikan dukungan. Juga tidak memotong pembicaraan ketika sedang berlangsung.
Si Raja Singa menyatakan setuju. Sebab, pikirnya, mendengarkan suara rakyat itu sama dengan mendengarkan suara tuhan.
"Hormati orang bicara," kata si Raja Singa.
Bicaralah si Panglima Perang. Ia pun mengeraskan suaranya agar para tikus yang bersembunyi di berbagai tempat mendengar. Biar transparan seperti orang modern tengah menunaikan asas demokrasi. Jangan sampai nanti hasil bicaranya diplintir. Maklum tengah berlangsung Pilkada.
"Dalam waktu tiga bulan saya bisa membunuh Raja Singa. Tidak perlu takut, karena saya tahu persis siapa dia," ujar Panglima Perang.
Raja Singa mendengar ucapan bernada mengancam memberi rekasi. Badannya terlihat membesar dan menimbulkan rasa takut rekan-rekan dan seluruh tikus di sekitar forum itu.
"Sabar tuan. Tadi kan tuan sudah janji, tidak memotong bicara saya?" pinta Panglima Perang.
Setelah itu, Panglima Perang mengakhiri celotehnya dengan ditutup pernyataan akan mendukung si Raja Singa menjadi raja sejati. Raja Singa gembira dan tidak satu ekor pun tikus diganggunya. Apa lagi usai pertemuan, para tikus yang dipersembunyian keluar dan memberi tepuk tangan dengan yel yel yel hidup raja.... hidup raja.....singa.
**
Dalam perjalanan ke kediamannya wilayah komunitas Singa, si Raja Singa masih ingat dengan ucapan Panglima Perang tadi. Dan waktu pun berjalan demikian cepat. Sebulan ia masih saja memikirkan ucapan Panglima Perang bernada mengancam, bahwa dirinya bisa mati dalam tiga bulan.
Bulan kedua, si Raja Singa makin sering memikirkan ucapan Panglima Perang. Ia pikir, Panglima Perang akan menggunakan kekuatan lain untuk menghancurkan dirinya. Bukankah dalam perang berlaku, membunuh itu halal asal perang bisa dimenangkan. Coba lihat permainan catur, pion-pion jadi korban. Kuda bisa berjalan di luar batas normal.
Untuk itu, lantas si Raja Singa harus mengedepankan sikap hati-hati. Ke depan, perilaku dan tindakan harus dijaga. Apa lagi si Panglima Perang sangat tahu perilakunya karena sering mengintip ketika ia bepergian.
Sikap hati-hati itu tidak saja sampai di situ, si Raja Singa pun tidak mau makan sembarangan. Seperti diajarkan dalam agama, tidak boleh makan makanan haram. Termasuk minum-minuman keras seperti kebiasaan sebelumnya. Pikirnya, ia harus puasa tidak makan dan minum agar maksudnya bisa diraih.
Tanpa sadar, Raja Singa ternyata sudah tua. Orang sekarang bilang, sudah bau tanah kuburan tidak sadar diri. Ia takut diguna-guna atau air minum diracun. Lantas, ia menguatkan diri tetap puasa sampai tiga bulan. Ternyata, tidak sampai tiga bulan, si Raja Singa itu tidak dapat menyelesaikan puasanya. Ia mati sendiri karena tidak makan dan minum.
Tulisan ini terinspirasi dari cerita Prof. Dr. Dedi Djubaedi. Dosen UIN Jakarta ini tidak mau menjawab pertanyaan isu aktual yang diangkat di media massa seputar kampanye Pilkada 2018. Termasuk pemberitaan serangan Amien Rais kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam kritiknya mengangkat isu  program bagi-bagi sertifikat sebagai pengibulan. Mendengar itu, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, geram dan meminta Amien tidak asal kritik. Namun Prof. Dedi memberi jawaban dikemasnya dalam bentuk cerita.
Mantan Direktur Madrasah Kementerian Agama RI Prof.Dr.Dedi Djubaedi itu tampil sebagai pembicara pada sesi Membangun Demokrasi Damai pada Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 dalam Prespektif Agama Islam. Peserta pada forum itu berasal dari berbagai provinsi Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) di Tanah Air. Dedi tampil kocak dan sering disambut tawa hadirin.
Pada kesempatan yang sama, Dedi sempat sedikit bicara serius dan memaparkan hubungan Islam dan demokrasi, yang pada dasarnya sangat aksiomatis, karena Islam adalah agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia.
Sementara itu, demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antaranggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif. Islam, katanya, telah didiskreditkan oleh dua hal, ketika Islam dibandingkan dengan demokrasi dan ketika dikatakan, bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.
Pertimbangan, Islam memiliki konsep peradaban yang spesifik, sedangkan demokrasi inkonsisten. Alquran 15 abad yang lalu telah menunjukkan cara berdemokrasi yang simpel, tetapi melampaui seluruh konsep dan gagasan demokrasi yang dikemukakan para ahli seperti telah dikemukakan. Nabi Muhammad saw. sebagai representatif manusia telah meletakkan nuktah fundamental berdemokrasi melalui visi Alquran. Prinsip berdemokrasi itu dapat dilihat dalam tata kehidupan Nabi Muhammad sebagai nabi dan kepala pemerintahan.
Pertama, bersikap lemah lembut; tidak memaksakan kehendak, bersikap proporsional. Kedua, mudah memberi maaf kepada orang yang hendak meminta maaf, seperti ketika kalah dalam perang Tabuk. Ketiga, meminta maaf jika bersifat keliru atau salah. Keempat, membuka ruang dialog, bertukar pikiran. Kelima, bertawakkul, senantiasa bersikap optimis dan penuh percaya diri, sekalipun tantangan membayangi setiap aspek kehidupan.
Jika umat Islam kembali kepada ajaran Islam dan merujuk idola mereka, Muhammad SAW, demokrasi bukan hanya retorika berpolitik. Demokrasi sejatinya hidup bersama dengan berkomitmen melaksanakan ajaran agama dengan benar dan konsisten. Andaikan di Indonesia setiap warga bangsa mengakui memiliki agama yang diyakininya, dan ditindaklanjuti dengan melaksanakan seluruh ajaran agama dengan baik dan konsisten, demokrasi ala Indonesia akan terwujud.
Jadi, sukses atau tidaknya Pilkada tahun 2018 dan Pilpres 2019 akan ditentukan oleh komitmen setiap umat beragama melaksanakan agamanya. Karena itu, bersantunlah dalam berpolitik. Tidak asal bunyi (asbun) ketika menyampaikan pesan di ranah publik. Selamat berdemokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H