Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mati dengan Sendirinya

24 Maret 2018   11:17 Diperbarui: 24 Maret 2018   13:22 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Singa mati karena kelapadan. Foto | brilio.net

Dalam perjalanan ke kediamannya wilayah komunitas Singa, si Raja Singa masih ingat dengan ucapan Panglima Perang tadi. Dan waktu pun berjalan demikian cepat. Sebulan ia masih saja memikirkan ucapan Panglima Perang bernada mengancam, bahwa dirinya bisa mati dalam tiga bulan.

Bulan kedua, si Raja Singa makin sering memikirkan ucapan Panglima Perang. Ia pikir, Panglima Perang akan menggunakan kekuatan lain untuk menghancurkan dirinya. Bukankah dalam perang berlaku, membunuh itu halal asal perang bisa dimenangkan. Coba lihat permainan catur, pion-pion jadi korban. Kuda bisa berjalan di luar batas normal.

Untuk itu, lantas si Raja Singa harus mengedepankan sikap hati-hati. Ke depan, perilaku dan tindakan harus dijaga. Apa lagi si Panglima Perang sangat tahu perilakunya karena sering mengintip ketika ia bepergian.

Sikap hati-hati itu tidak saja sampai di situ, si Raja Singa pun tidak mau makan sembarangan. Seperti diajarkan dalam agama, tidak boleh makan makanan haram. Termasuk minum-minuman keras seperti kebiasaan sebelumnya. Pikirnya, ia harus puasa tidak makan dan minum agar maksudnya bisa diraih.

Tanpa sadar, Raja Singa ternyata sudah tua. Orang sekarang bilang, sudah bau tanah kuburan tidak sadar diri. Ia takut diguna-guna atau air minum diracun. Lantas, ia menguatkan diri tetap puasa sampai tiga bulan. Ternyata, tidak sampai tiga bulan, si Raja Singa itu tidak dapat menyelesaikan puasanya. Ia mati sendiri karena tidak makan dan minum.

Prof. Dedi Djubaedi ketika bicara serius. Foto | Dokumen Pribadi.
Prof. Dedi Djubaedi ketika bicara serius. Foto | Dokumen Pribadi.
**

Tulisan ini terinspirasi dari cerita Prof. Dr. Dedi Djubaedi. Dosen UIN Jakarta ini tidak mau menjawab pertanyaan isu aktual yang diangkat di media massa seputar kampanye Pilkada 2018. Termasuk pemberitaan serangan Amien Rais kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam kritiknya mengangkat isu  program bagi-bagi sertifikat sebagai pengibulan. Mendengar itu, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, geram dan meminta Amien tidak asal kritik. Namun Prof. Dedi memberi jawaban dikemasnya dalam bentuk cerita.

Mantan Direktur Madrasah Kementerian Agama RI Prof.Dr.Dedi Djubaedi itu tampil sebagai pembicara pada sesi Membangun Demokrasi Damai pada Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 dalam Prespektif Agama Islam. Peserta pada forum itu berasal dari berbagai provinsi Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) di Tanah Air. Dedi tampil kocak dan sering disambut tawa hadirin.

Pada kesempatan yang sama, Dedi sempat sedikit bicara serius dan memaparkan hubungan Islam dan demokrasi, yang pada dasarnya sangat aksiomatis, karena Islam adalah agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia.

Sementara itu, demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antaranggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif. Islam, katanya, telah didiskreditkan oleh dua hal, ketika Islam dibandingkan dengan demokrasi dan ketika dikatakan, bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun