Dalam catatan di benak Panglima Perang, si Raja Singa sangat takut dengan isteri dan anak-anaknya. Namun dia paling doyan perempuan dan sering keluyuran ke komunitas prostitusi. Di situ, siapa pun yang menjadi mitranya dilahapnya dengan mudah. Jika ia kedapatan berada di lingkungan pelacur, ia mengangkat alasan, tengah mencari dukungan.
"Jujur saja saya ini politisi ulung," kata si Raja Singa ketika berpidato di kumpulan warga prostitusi, dan disambut gegap gempita tepukan tangan.
Di tengah kerumunan para perempuan penjaja seks komersial itu, muncul satu orang menuju panggung. Ia bercerita tentang negeri yang bakal bubar lantaran dikelola tidak sebagaimana mestinya. Perempuan itu juga melapor sertifikat yang diterima hanya dimaksudkan untuk membangun citra penguasa.
Lantas, si pelacur itu menambahkan dan meminta agar si Raja Singa tidak bosan-bosan datang ke komunitas itu. Sebab, dukungan akan diberikan untuk memuluskan si Raja Singa sebagai raja sejati di seantaro jagat.
Apa lagi, katanya, para PSK di situ mengaku semuanya masih perawan.
Mendengar penjelasan itu, si Raja Singa makin bangga dengan dirinya. Ia pun menyambut dengan gembira. Apakah seluruh pernyataan itu datang dengan jujur atau tidak, bohong atau palsu, hoaks atau bukan, terpenting mereka menyatakan memberi dukungan.
Sepak terjang si Raja Singa ini terekam kuat dalam ingatan oleh Panglima Perang yang tengah menghadap si Raja Singa.
Panglima Perang memberanikan diri bicara. Sementara itu, rekan-rekannya, sembilan ekor tikus lainnya yang sama-sama menghadap merasa takut. Keringat pun membasahi tubuh mereka. Maklum, yang dihadapi si Raja Singa yang namanya populer di jagat perpolitikan dan lingkungan akademis.
Para tikus itu sadar betul, apa pun alasan dan argumentasi menentangnya pasti dapat dimentahkan. Si Raja Singa gagah, pintar, kuat, berani dan menakutkan. Sulit dikalahkan dari berbagai sisi.
Tapi itu semua tidak berlaku bagi Panglima Perang Tikus.