Hanya Joko Widodo yang terlihat paling siap untuk menjabat sebagai presiden untuk periode kedua. Selain karena posisinya sebagai petahana dan populer sebagai presiden blusukan, tampil sederhana dan dekat dengan warga, ternyata juga lebih prima dari sisi fisik.
Sekarang Pak Jokowi, sapaan akrab Presiden Joko Widodo, sudah siap bertarung di pentas Pilpres. Ia berlatih di atas ring tinju, latihan memanah dan olahraga lain untuk menjaga stamina. Pilpres bagi Jokowi bakal menguras energi: waktu, tenaga dan sumber daya manusia yang dapat dipastikan dapat mendukungnya.
Dan di tengah kesiapannya itu, ia pun kini di hadapkan dengan gunjang-ganjing partai politik (parpol) mewacanakan para kandidatnya sebagai wakil presiden (wapres). Sayang, tidak satu pun calon-calon yang dimunculkan itu memiliki kedekatan dengan masyarakat lapisan bawah. Boleh jadi, namanya juga calon yang diwacanakan, nama-nama yang dimunculkan lebih terkesan sebagai pemancing untuk melihat respon publik.
Kalaupun ada calon yang digadang-gadang untuk mendampingi Jokowi, popularitasnya masih tergolong papan tengah. Meski begitu, nama-nama yang dimunculkan telah menjadi perhatiannya. Diperhatikan iya, tetapi untuk memilih belum tentu meski "desakan" datangnya terasa keras di dada.
Parpol pada tahun politik ini lebih tertarik mengangkat isu calon wakil presiden. Bukan mendorong kadernya sebagai calon presiden. Ini bisa dipahami lantaran untuk menandingi popularitas Jokowi sangat sulit, selain juga tingginya angka hasil survei sang petahana itu. Pimpinan parpol lebih mengincar posisi wakil presiden dan menyorongkan diri, dengan menyebut, "saya lebih bagus daripada si dia".
Kalkulasi pengamat politik, jabatan wakil presiden pada tahun mendatang sangat strategis bagi pucuk pimpinan negeri ini ke depan. Â Jadi, siapa pun yang menjadi wakil presiden dan berpasangan dengan Jokowi akan ikut menentukan siapa presiden periode berikutnya. Harapannya, kalau beruntung, wakil presiden akan menjabat sebagai presiden setelah Jokowi. Konstitusi membatasi presiden hanya menjabat dua periode.
Itulah sebabnya, sampai sekarang, banyak pihak 'malu-malu' atau belum berani secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai penantang Jokowi untuk periode 2019 -- 2024. Kalaupun ada, seperti Rizal Ramli, yang menyatakan diri siap menjadi presiden, tetapi tidak mendapat respon publik yang menggembirakan.
Sementara itu, rival lama Jokowi, yaitu Prabowo Subianto, tidak buru-buru mendeklarasikan diri untuk maju sebagai presiden. Prabowo masih "melihat pasar" dan kesiapan tim inti dari partainya Gerindra untuk mendukung dirinya menjadi penantang Jokowi kembali.
Di internal partai Gerindra sendiri, kini makin menguat tuntutan agar Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersedia mencalonkan diri sebagai calon presiden atau cawapres pada 2019.Â
**
Mencermati keriuhan politik dengan ragam berita yang mencuat, kadang membuat jidat mengernyit. Kadang terbawa emosi, geregetan terhadap elite yang berceloteh lantaran tidak sejalan dengan suara rakyat. Sebut saja, Jokowi menolak untuk menandatangani Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3). Presiden sadar betul bahwa UU MD3 tetap akan berlaku pada Kamis, 15 Maret 2018, setelah disahkan oleh DPR pada Februari 2018 silam.
Kenapa tidak ditandatangani? Alasannya sederhana, lantaran Jokowi menangkap adanya keresahan di masyarakat. Apa sih yang meresahkan itu? Yaitu, sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3. Oleh karena itulah, ia memperlihatkan sikap tidak menandatangani lembar pengesahan UU MD3 meski hal tersebut tidak berdampak apa pun.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, undang-undang akan otomatis berlaku 30 hari setelah disahkan di rapat paripurna meski tidak ditandatangani oleh Presiden.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan UU MD3 akan tetap berlaku meski tidak ditandatangani Presiden Jokowi. Namun ia mengingatkan Presiden Jokowi tidak perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -- Undang (Perppu). Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, mempersilahkan tiga pasal yang dinilai tidak sesuai pandangan publik, dapat dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Atas kasus ini, dewan tidak takut citranya buruk di hadapan publik.
Tawaran itu disambut warga. Protes pun menguat. Termasuk dari kalangan mahasiswa. Sementara massa yang tergabung dalam Presidium Rakyat Menggugat  UU MD3 berunjuk rasa di depan Gedung MK. Mereka dengan tegas menolak berlakunya UU MD3. Ada tiga pasal yang ditolak.
Yaitu, pertama, Pasal 73. Klausul revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dalam pasal ini ditambahkan frase "wajib" bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.
Kedua, Pasal 122 huruf k. Pasal ini berbunyi MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Ketiga, Pasal 245. Pasal ini menyatakan, DPR dan pemerintah sepakat bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.
**
Beruntunglah Jokowi. Di tengah euforia kebebasan menyatakan pendapat, ia telah belajar tinju di atas ring. Belajar memanah untuk menguatkan berkonsentrasi dan menghaluskan rasa dengan mengikuti kontes burung.
Jokowi tidak pernah terdengar bermain golf yang biasa melibatkan petinggi negeri seperti pada era Orde Baru lalu. Bisa jadi, jika ia diminta bermain golf akan menolak lantaran permainan olahraga ini sudah dikesankan hanya untuk kalangan orang berduit.
Bagaimana jika Jokowi bermain kelereng?
Tentu, hanya Pak Jokowi yang bisa menjawabnya.
Latihan olahraga tinju, panahan dan bersepeda yang dilakoni Pak Jokowi akan berpengaruh pada penguatan fisik dirinya. Pikiran jernih, karena didukung badan yang sehat. Boleh jadi berbagai keputusan yang diambil lebih banyak berpihak kepada penguatan kepentingan rakyat. Itu dilakukan setelah ia blusukan dan mendengar aspirasi rakyat pada lapisan bawah.
Karenanya, ia tidak menandatangani UU MD3, produk legislatif yang banyak mengundang kontroversial itu. Penolakan ini, dari sisi pencitraan, berpotensi menguatkan posisi Pak Jokowi pada Pilpres mendatang. Apa lagi para kandidat yang digadang-gadang parpol sekarang ini lebih banyak mengeluarkan pernyataan kepentingan partainya, bukan pada program kerja nyata menyejahterakan rakyat.
Parpol-parpol kini seperti tengah sibuk mencari dukungan untuk membuat poros. Lari kesana kemari mencari teman sehaluan, seolah tengah mengajak rekan untuk bermain di lapangan sepakbola. Kostum yang dikenakan mudah berubah, bagai bunglon tengah nangkring di pohon.
Pilpres masih jauh. Sudahkah kandidat lain berlatih di pentas ring. Jika Jokowi saja berani, haruskah yang lain 'malu-malu'?
Sumber bacaan: 1, 2 dan 3.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H