***
Kita boleh menganggap keputusan itu sangat monumental dan langkah berani mengingat pandangan miring terhadap hak perempuan untuk berpolitik masih ada. Alasan kaum pria yang tidak setuju sering kali mengangkat argumentasi begini. Tidak bahagialah suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan.
Argumentasi yang berseliweran pada tahun 50-an hingga 1960 dapat dikikis dengan keputusan Syariah pada Muktamar NU 1961 di Salatiga, Jawa Tengah, bahwa perempuan diperkenankan menjadi kepala desa. Keputusan itu lantas dikuatkan pada Munas Alim Ulama 1997 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Organisasi kemasyarakat (Ormas) Islam terbesar itu memberi lampu hijau atas perempuan dalam berbagai sektor, sekali pun untuk posisi kepala negara.
Realitasnya, kelompok pria yang mengaku sebagai orang NU di sebuah kementerian belum merasa ikhlas jika ada perempuan menjabat selevel direktur. Kadang isu-isu minor dan fitnah diangkat, khususnya yang berkaitan dengan perselingkuhan. Karenanya, kebijakan perempuan setara dengan lelaki masih terkesan setengah hati. Kalaupun ada perempuan memiliki kecerdasan melebihi dari rata-rata, maka yang bersangkutan jarang diberi kesempatan tampil.
Kalau saja, misalnya, Sri Mulyani yang kini menjabat sebagai Menteri Keuangan itu mencalonkan diri sebagai presiden atau pun wakil presiden, bisa jadi penolakan akan muncul dengan argumentasi lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan akan terulang kembali.
"Ar-Rijala qawwamun 'ala-n-nisa (QS An-Nisa {4}: 34.
Alasan itu kemudian diperkuat, tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya (mengangkat penguasa) kepada seorang perempuan.
"Lan-yufliha qaumun wallau amrahum imra'atan" --Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Kita pun mahfum, dalam tahun politik berbagai pihak melakukan prediksi terhadap isu-isu yang bakal diangkat untuk menarik hati warga. Tidak mustahil isu agama paling mudah diangkat. Ya, tadi, isu soal perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah akan diterpa isu paling sensitif, yaitu melalui agama.