Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerupuk sebagai Menu di Tahun Politik

27 Februari 2018   20:53 Diperbarui: 27 Februari 2018   21:12 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krupuk di ruang kerja (Dokumentasi Pribadi)
Krupuk di ruang kerja (Dokumentasi Pribadi)
Kerupuk dengan harganya yang relatif murah dan dikonsumsi sesuai kebutuhan saat itu, di sebagaian warga masih dipandang sebelah mata. Artinya, dari sisi kemanfaatannya tidak terlalu penting. Kerupuk hadir hanya sebagai pelengkap untuk merangsang seseorang merasa lezat makan. Dan bagi sebagian orang yang merasa tak lengkap jika makan tanpa kerupuk, maka ia telah menempatkan kerupuk menjadi penting.

Jika dicermati perjalanan kerupuk, mulai saat didistribusikan dari pabrik hingga mencapai gedung pencakar langit, dapat dimaknai bahwa kerupuk sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia.

Kini, jenis kerupuk pun beragam dengan cita rasa beragam pula. Mulai rasa ikan, udang dan lainnya. Pokoknya, sesuai dengan tuntutan kebutuhan akan cita rasa yang makin menyenengkan konsumen, para pengelola kerupuk terus menerus melakukan inovasi. Di berbagai daerah, kini hadir kerupuk dengan beragam rasa yang enak.

***

Di tahun politik, elite politik masih saja tidak belajar dari pengalaman masa lalu. Sejak di awal tahun sudah terdengar menu-menu yang disuguhkan masih saja itu-itu saja. Isu yang diangkat sudah dapat "dibaca" warga "akar rumput".

Jika orang berceloteh yang dipegang adalah omongannya. Tapi, bila dicermati, para elite bicaranya melulu prihal isu suku, agama, ras dan antargolongan alias SARA. Di media sosial hal itu bermunculan, mulai dari isu pengembang di wilayah pantai Jakarta hingga penguasaan lahan oleh etnis tertentu.

Tukang kerupuk tengah bersiap mendistribukan ke gedung kementerian. Foto | Dokpri
Tukang kerupuk tengah bersiap mendistribukan ke gedung kementerian. Foto | Dokpri
Bersamaan dengan itu, muncul isu permusuhan kepada tokoh agama-agama. Penganiayaan atau teror terhadap ustaz hingga tokoh agama-agama sekalipun mulai mencuat ke ranah publik.

Ini isu "jadul" dari para tangan kotor. Belum lagi isu kadaluarsa lainnya, semisal si anu adalah keturunan eks partai komunis. Lantas disusul potensi ucapan kebencian di tahun politik melalui media sosial. Pernyataan pemangku kepentingan, dalam hal ini pemerintah, yang menyebut bahwa pelaku teror terhadap ustaz adalah orang gila membuat publik tambah curiga.

Isu agama dan segala simbol-simbolnya dalam berpolitik tergolong murah dan primitif. Tapi,  terasa efektif untuk membangun opini publik, dan kemudian rentan menimbulkan perpecahan antarumat atau bahkan sesama umat seagama. Hal ini seharusnya sudah ditinggalkan.

Menirukan gaya bicara anak muda sekarang, macam gituan sudah kuno.

Hal itu terjadi lantaran para elite tidak punya kreativitas untuk melontarkan isu positif. Atau tidak memiliki kemampuan menggoreng isu di luar SARA untuk membawa umat berpikir cerdas. Filosofi kerupuk sayogianya dapat menginsiprasi dan mendorong para elite politik untuk kreatif mengembangkan isu dan menambah pembelajaran tentang arti pentingnya berpolitik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun