Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Marwah Koran di Mana?

7 Februari 2018   12:41 Diperbarui: 7 Februari 2018   19:39 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Pedagang koran. Foto | Joglosemar.co.id

Bang Rasidin kini tak merasa bangga lagi dengan surat kabar atau koran yang dijualnya di lampu merah. Biar pun korannya dinamai sebagai koran lampu hitam atau pun lampu jalananan, orang banyak dan bahkan pengemudi bus sekalipun sudah tidak tertarik lagi untuk membeli.

Koran ibukota yang biasanya laris pada musim penghujan sekarang tidak dipandang lagi. Jangankan dibeli, ditampilkan foto artis dengan pakaian seronok pun pada halaman depannya juga tidak menarik banyak orang untuk membelinya.

Dulu Bang Rasidin paling rajin membaca koran sebelum dijual kepada para pelanggan setianya di pinggir jalan. Dengan membaca itu, ia dapat menyerap isi berita dengan isu menarik paling aktual. Lantas, ketika koran dijajakan di pinggir jalan atau pun di dalam bus kota, ia dapat berceloteh tentang berbagai isu yang dibacanya.

Ketika koran makin siang belum terjual seluruhnya, Rasidin naik bus kota untuk menjual koran dan berceloteh tentang isi koran yang telah dibaca. Penumpang bus yang tertarik dengan celotehnya kemudian membeli koran. Rasidin yakin benar, jika koran makin siang bakal makin sulit terjual.

"Jelas, dong. Kan isi korannya bakal basi. Besok sudah ada cerita lain dan baru. Isu baru," ungkap Rasidin kepada rekannya Romy, yang juga seorang mahasiswa, dalam satu obrolan di tepi jalan.

Pendidikan Rasidin memang tidak tinggi. Tapi ia tahu benar bagaimana menyiasati agar sejumlah koran yang dijualnya dapat segera laris. Isi koran itu harus diperbarui setiap terbit, terbitnya pun harus teratur menurut periodisasinya. Jangan hari ini terbit, besok hilang dari peredaran.

Ia bercerita, dulu banyak orang ngaku-ngaku wartawan. Kelihatannya, ia bangga jadi wartawan dan sering menakut-nakuti penjual warung nasi tegal atau Warteg dengan harapan makan dapat gratis. Tapi, realitasnya, orang bersangkutan nggak punya koran. Yang seperti ini namanya jurnalis hidup segan tapi disebut mati tak mau.

Kebanyakan orang menyebut jurnalis seperti itu tuh sebagai wartawan bodrek. Kalau datang seperti binatang laron, nyerbu. Tentu saja si narasumber pusing. Karenanya, mereka itu disebut bodrek. Bukan tambah sembuh atas kedatangannya, tapi membuat tambah pusing tujuh keliling bagi narasumber karena ditanyai berbagai hal yang tidak kepuguhan.

Sekarang, koran tidak dipandang lagi. Kalaupun ada, cuma dapat dihitung dengan jari. Dulu, ia melanjutkan ceritanya kepada Romy si mahasiswa itu, persaingan antarpenerbit koran sangat ketat. Kala ada terbitan koran baru, ada sekelompok orang membeli dalam jumlah besar koran bersangkutan.

Jadi, koran baru belum sampai ke tangan pembaca sudah diborong. Biasanya aksi borong dilakukan di tingkat agen. Kalau agen sempat melepas koran bersangkutan ke tangan pengecer, maka cepat-cepat dibeli.

Perisitiwa ini, awalnya membuat Rasidin merasa heran. Belakangan barulah ia tahu, bahwa yang memborong itu adalah orang-orang bayaran dan bekerja untuk kelompok koran tertentu untuk membendung pesaing barunya.

"Wah, kala itu, mencari duit dari koran memang gampang," Rasidin mengenang masa lalunya kala rejeki nomplok sering hinggap pada dirinya.

"Koran.. koran... Ini ada kejadian orang dipotong-potong dua belas. Koran.. koran. Ini ada kejadian aneh, bayi dalam perut bisa bicara..," Rasidin berteriak-teriak menjajakan beberapa koran di tangannya yang belum terjual.

Dulu,  di Terminal Bus Lapangan Banteng (sekitar tahun 1980-an), yang hanya dapat menyaingi posisi bisnis koran hanyalah para peramal tangan di pinggir jalan. Bukan karena kehebatannya dalam hal ikhwal meramal, tapi pada kemampuannya mengibuli orang banyak.

Saya ini tidak tahu politik, apa lagi hal lainnya. Pokoknya, apa yang saya baca, jadi bahan bualan untuk menarik pembeli. Saya ini sesungguhnya hanya jualan bualan saja. Sama seperti peramal itu. Muji-muji dan menakut-nakuti orang yang diramal. Lalu, ia minta bayaran sambil berjanji akan menyebut penangkal bala ke depan.

Karena sering membual, ia mengaku, boleh jadi koran sekarang kehilangan marwahnya. Bukan semata karena kemajuan teknologi informasi, internet dan gawai. Ini karena isi koran terlalu banyaknya bual-bualnya.

Mendadak sontak rekannya Romy bereaksi mendengar ucapan seperti itu. Ia lalu angkat bicara. Rasidin pun kaget melihat reaksi Romy yang sejak bertemu tak mengeluarkan satu pun kata. Cuma, apa kabar dan setelah ia lebih banyak sebagai pendegar dan menyaksikan cara ia berjualan koran.

"Nggak semua isi koran itu isinya bualan. Isinya beragam. Koran itu terbit dengan misi khusus, sebagai sarana pendidikan, hiburan dan menyampaikan informasi. Koran juga sebagai kekuatan demokrasi di negeri ini. Saya nggak setuju kalau Bang Rasidin sebut isi koran bualan melulu," jawab Romy dengan nada tinggi.

"Kalau koran 'kuning', ya mungkin saja," Romy melanjutkan.

"Tapi, marwah Koran sekarang ada dimana?" Rasidin bertanya kepada rekannya yang dijawab dengan gelengan kepala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun