Etnis Tionghoa sebagai Pembawa Islam dan "Gorengan Politik" [Bagian II]
Perlu keberanian dan sejarah memang harus diluruskan. Hitam harus dikatakan senyatanya hitam dan putih haruslah disebut sedemikian adanya. Dengan cara itu kita dapat menempatkan rasa hormat sebagaimana mestinya.Â
Hal ini erat kaitannya dengan sejarah etnis Tionghoa sebagai pembawa Islam yang jejaknya "disamarkan" dan kadang "digoreng" sedemikian rupa untuk kepentingan instumen politik.
Tulisan yang diturunkan dalam dua bagian itu, tulisan pertama ditempatkan sebagai artikel pilihan dan artikel bagian kedua sebagai artikel utama. Tulisan ini berawal dadi terhentaknya hati penulis kala membaca sekilas tulisan berupa pesan Presiden RI BJ Habibie di Museum Cheng Ho.Â
Mata terasa tersedot, melotot dan kemudian membacanya perlahan-lahan agar tak satu pun kata tertinggal. Lalu, diulang kembali membaca sambil memperhatikan barisan hurufnya dengan latarbelakang warna merah dan tercetak dengan huruf warga putih terang.
Karena demikian panjangnya, penulis mencoba mensarikan pesan yang ingin disampaikan bahwa perjalanan etnis Tionghoa ke Bumi Nusantara, eloknya dapat dijadikan sumber inspirasi untuk meningkatkan kesadaran bahwa bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia sejatinya tak mengenal sebagai penduduk asli "tulen".Â
Pergerakan atau mobilisasi warga dari satu negeri ke negeri lain demikian cepat, terlebih asimilasi telah berlangsung secara alamiah sehingga kita pun belum tentu tahu nasabnya berujung ke siapa.
Dalam konteks kekinian, seluruh elemen di Tanah Air penting meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengingat dalam waktu dekat akan digelar Pilkada secara rentak. Seperti disebut oleh Komisi Pemulihan Umum (KPU) RI tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018 sudah ditetapkan pada 27 Juni 2018.
Dalam pesta demokrasi itu, telah diagendakan bahwa 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018 secara serentak, 10 bulan sebelum hari pencoblosan berbagai aktivitas sudah dilakukan. Antara lain, sosialisasi dan kampanye tentunya. Itu berarti tahapannya dimulai Agustus 2017. Untuk ini, perlu disegarkan ingatan bersama bahwa sudah tak layak lagi menjual isu SARA untuk mendulang suara.
Dalam alam demokrasi kedudukan setiap individu dijamin konstitusi negara. Negara hadir mengatur kehidupan anak bangsa, baik dari sisi sosial budaya, hukum dan kebebasan menjalankan ibadahnya agar roda pemerintahan dapat berjalan baik. Namun semua itu dapat berlangsung baik apabila dibarengi adanya kesadaran bahwa "menggoreng" isu etnis Tionghoa sebagai komoditas politik sayogyanya tak patut diangkat dalam Pilkada serentak mendatang.
Siapa takut Mengucapkan Selamat Natal?
Prihal menyampaikan ucapan selamat Natal, dari tahun ke tahun, kerap mengemuka. Ada yang mengambil sikap setuju dan menolak. Ada sebagian umat Muslim yang merasa tidak masalah mengucapkan selamat Natal, tetapi ada pula yang merasa hal itu diharamkan.