Masih banyak alasan dikemukakan bagi sebagian umat Islam untuk tidak menyegerakan menunaikan ibadah haji meski dari sisi usia masih muda dan secara fisik dan finansial mendukung bagi yang bersangkutan.
Untuk menunaikan haji, memang ada ketentuan, yaitu seseorang muslim harus memenuhi persyaratan kemampuan (istitoah). Para ulama sepakat bahwa Istitoah dapat dimaknai sebagai memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji, yang meliputi kemampuan materi, kendaraan, keamanan, bekal selama berangkat haji, dan bekal bagi keluarga yang ditinggalkan.
Dalam prakteknya, ternyata hal itu tak cukup. Yang bersangkutan perlu memiliki wawasan yang cukup bagi setiap calon jama'ah haji yang akan berangkat menunaikan ibadah haji.
Banyak anggota jamaah haji yang berangkat ke Makkah tetapi tidak memiliki pengetahuan agama sedikit pun. Hal ini tentu sangat menjengkelkan. Petugas Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi banyak menemui hal itu.
Pasalnya, orang bersangkutan sok tahu soal manasik haji. Padahal ketika di tanah air, besar kemungkinan- karena yang bersangkutan merasa memiliki status sosial tinggi sebagai orang besar dan berpangkat, -- tak ikut manasik. Orang tersebut banyak tidak tahu seputar sejarah Makkah dan rumah Allah, serta tempat-tempat istimewa di sekitar rumah Allah Swt.
Orang seperti ini biasanya menunaikan haji karena termotivasi ingin mendapatkan gelar haji untuk meraih status sosial. Apalagi jika mengingat zaman kolonial Belanda, hanya orang yang sudah menunaikan haji sajalah berhak menggunakan songko putih. Jadi, status haji tentu membanggakan.
Lantas bagaimana orang Muslim yang dari sudut istitoah sudah terpenuhi, tapi yang bersangkutan tak mau juga berangkat haji hanya disebabkan merasa takut akan adanya pembalasan dosa ketika berada di tanah suci Mekkah, Madinah dan Armina (Arafah, Muzdalifah dan Mina).
Sebetulnya anggapan itu lebih merupakan pendapat yang mendekati mitos. Suatu cerita di lingkungan masyarakat yang kemudian berkembang bahwa perbuatan maksiat akan dimintai pertanggungjawabannya tatkala yang bersangkutan menunaikan ibadah haji.
Tetapi harus diakui bahwa kelancaranan dalam menunaikan ibadah haji memang tergantung dari niat dan perbuatan orang bersangkutan. Baik dari sisi pemahaman tentang haji itu sendiri maupun penghayatan terhadap keimanan dan tinggi rendahnya kualitas keikhlasan.
Diwadahi kompasiana
Penulis sangat bersyukur bahwa dalam konteks mendorong dan memberi pemahaman tentang pentingnya pelaksanaan ibadah haji, termasuk penyelenggaraan umrah di berbagai daerah, kompasiana telah memberi wadah sehingga tulisan-tulisan tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah mendapat perhatian publik.