Penjelasanya begini. Tahun 2018, bagi Arab Saudi, adalah langkah awal pembenahan penerimaan pendapatan bagi negeri itu menyusuk penangkapan 11 pangeran, empat menteri dan puluhan mantan menteri karena terkait setelah pembentukan komisi antikorupsi yang dipimpin Putra Mahkota, Pangeran Mohammed bin Salman (4/11/2017).
Mengawali tahun 2018 ini ada beberapa kebijakan ekonomi yangg diluncurkan pemerintah Arab Saudi; pertama, seperti sudah diwartakan media massa, PPN untuk semua semua item barang termasuk sewa jasa akomodasi, transportasi, dll.
Kedua, kenaikan harga bensin dari jenis 95 yang sebelumnya 0.90 halalah per liter menjadi 2.04 riyal per liter dan jenis 90 dari sebelumnya 0.75 halalah per liter menjadi 1.37 riyal per liter. Ketiga, kenaikan tarif dasar listirik atau TDL listrik. Keempat, kenaikan biaya tax dependant untuk anggota keluarga yang menjadi tanggungan dari 100 riyal per orang/bulan pada tahun 2017 menjadi 200 riyal per orang/bulan pada tahun 2018.
Pajak bagi mukimin terus merangkak naik setiap tahun. Jika pada tahun 2017 dikenai PPN sebesar 100 riyal per bulan, pada tahun 2018 naik 200 riyal per bulan dan seterusnya pada tahun berikutnya. Untuk cuti, mukimin juga dikenai PPN. Bila yang bersangkutan pulang ke Tanah Air sebulan, ya dikenai PPN sebesar itu pula. Namun jika ia tak membayar PPN, jangan harap bisa kembali lagi bekerja dan dapat diterima kafill atau penjamin di negeri itu.
Jadi, mukimin yang meninggalkan negeri itu harus membuat pernyataan: berapa lama cuti, akankah kembali lagi bekerja atau tidak. Jika tidak kembali lagi, yang bersangkutan dikenai PPN 300 riyal.
***
Lantas seberapa besar kenaikan empat hal tersebut akan memengaruhi besaran biaya Haji atau Umrah pada tahun 2018H/1439H ini?
Hal ini yang masih dihitung. Yang jelas, Â kenaikan untuk ongkos haji dan umrah sudah jelas pasti. Â Sebab, setiap anggota jemaah haji dan umrah kala belanja dan menggunakan transportasi dan jasa-jasa lainnya dikenakan pajak setiap individu. Ini tak dapat dihindari.
Jadi, dari penjelasan ini, kenaikan ongkos haji atau umrah bukan lantaran pemerintah setempat menaikan ongkos hajinya yang terkait dengan ibadah. Apa lagi disebut-sebut bahwa untuk ibadah dikenai pajak. Bukan demikian seperti yang didiskusikan sebuah kelompok di Masjid Istiqlal, seperti yang digambarkan penulis dalam awal tulisan ini.
Boleh jadi, kelompok di atas yang mendiskusikan kenaikan ongkos haji dan umrah belum paham betul duduk soalnya. Mereka masih perlu diberi pemahaman bahwa kenaikan ongkos haji bukan karena pajak, tetapi dampak dari penerapan pajak itu (PPN) oleh pemerintah setempat.
Ongkos haji dan umrah naik karena juga harus memperhitungkan biaya pemondokan, transportasi -- udara dan bus shalawat -- katering, dll. Tegasnya, ke depan jajaran Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) masih perlu menyosialisasikan tentang kenaikan ongkos haji dan umrah