Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru di Zaman "Old", Mendidik Bagai "Main Layangan"

25 November 2017   06:20 Diperbarui: 25 November 2017   16:01 2278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tak dapat membayangkan. Jika sekolah di Jakarta saat itu untuk sekolah bersepatu saja sulit, bagaimana dengan sejumlah sekolah di luar Jakarta dan Pulau Jawa.

Membawa sapu ijuk adalah kewajiban bagi setiap murid. Bergantian. Jika murid dapat giliran, mereka membawa sapu. Karena merepotkan, murid gotong royong mengumpulkan uang untuk membeli sapu. Lantas, sapu disimpan di balik pintu sekolah.

Saya masih ingat sekali, setiap murid diwajiban membawa batu bata merah dari rumah. Dalam waktu singkat, batu bata merah terkumpul dalam jumlah banyak. Dalam waktu cepat, tidak sampai setahun, rumah ibadah berupa mushola sudah berdiri.

Lantaran tidak mengerjakan tugas, pekerjaan rumah, guru marah. Murid disetrap berdiri di muka kelas. Kendati nama-nama guru yang berpegang disiplin itu masih diingat, saya tak kuat menyebutnya. Saya sangat menyayanginya.

Kalau saja para murid berlaku sopan tentu guru tidak akan murka. Pasalnya, sudah mulai tumbuh murid tawuran antarsekolah. Biasanya berawal pada hal sepele, dari soal mata melotot ke arah murid anak sekolah seberang, lantas disusul saling ngotot dan menantang.

Sebagai hukuman, kepala sekolah memberikan sanksi berat. Teman saya yang memiliki badan besar, tegap dan kuat jadi sasaran kemarahan kepala sekolah. Di muka kelas, mereka diminta berbaris. Lalu, tangannya ditetesi cairan panas lilin yang menyala. Ada teman lainnya yang ikut tawuran terkencing di celana sebelum ditetesi cairan panas lilin. Ia pun dikenai hukuman tambahan, mengepel.

Tak kalah indahnya kala menjalani sekolah lanjutan pertama di kawasan Jatinegara, tepatnya saat itu disamping kantor Wali Kota Jakarta Timur. Karena selalu mendapat jabatan ketua kelas dan kadang ditugasi sebagai komandan upacara, namanya terasa "beken".

Namun ketenaran itu kalah dengan teman-teman lain yang kadang ke sekolah bawa bom sebesar kepalan tangan. Juga ada di antara teman rada "kelotokan" membela teman kala diganggu dari geng sekolah lain. Tawuran sering terjadi, tetapi cepat diselesaikan oleh kepala sekolah.

Terasa jagoan?

Ini yang harus dihindari. Sebab, ketika duduk di sekolah lanjutan atas, penulis yang masih sekolah pada zaman "old" itu, sekitar tahun 77-an, terasa diri menjadi orang paling jago berkelahi. Sebab, rekan-rekan lainnya lebih banyak sebagai "kutu" buku, pandai tetapi tak punya nyali ketika diganggu dari anak-anak sekolah luar.

Maklum, sekolah di kawasan Kampung Melayu, hingga kini muridnya kebanyakan etnis Tionghoa. Saya adalah satu dari tiga anak berwarna kulit sawo matang yang bersekolah di situ. Untuk menakut-nakuti pengganggu sekolah, lalu pihak sekolah banyak melibatkan saya untuk urusan keamanan sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun