Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ali Budin, Pejabat Narsis dan Pemarah

23 November 2017   11:00 Diperbarui: 23 November 2017   11:07 1454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, pejabat narsis dan pemarah. Foto | Solopos.com

Rekaman video, foto dan kliping surat kabar, majalah dan media lainnya masih dirasakan belum lengkap. Pasalnya, tidak seluruh kegiatan direkam dengan apik. Sistem pengarsipan juga terasa kacau, meski seluruh rekaman di kediamannya sudah memenuhi tiga kamar masing-masing berukuran mewah, 6 x 6 meter.

Bayangkan, untuk menyimpan arsip saja tempatnya demikian luas. Untuk rumahnya sendiri, tak pantas hanya disebut gedongan. Lebih tepat disebut istana. Namun karena Ali Budin, sang pejabat tinggi, merasa tidak puas - paling tidak sudah tiga kali - lalu meminta kepada sekretarisnya mengganti kepala Public Relations (PR) dan para juru potret, kamera dan para penulis yang ditugaskan meliput seluruh kegiatan dirinya.

"Kamu cepret-cepret, tapi tak pernah hasilnya diperlihatkan?" Ali Budin marah kepada juru potretnya di hadapan orang banyak.

Ali memang tergolong manusia narsis. Tak ingin sedikit pun memontum pada kegiatan resminya diabaikan pihak PR. Jurnalis juga harus diundang dan hadir saat kegiatan berlangsung. 

Kala jurnalis tak hadir karena isu yang diangkat melulu hal membosankan, tak menarik, Ali Budin marah besar kepada kepala PR.

"Kamu tak bisa kerja sama. Saya minta, semua yang bekerja memiliki loyalitas dengan pimpinan," Ali kembali marah.

Sepekan kemudian, kepala PR sudah berganti. Orangnya supel, pandai dan dari sisi bicaranya dapat dinilai punya kecerdasan di atas rata-rata para pegawai lainnya di lingkungan institusi yang dipimpin Ali Budin. Kebanyakan orang memanggilnya Juedis. Disebut demikian karena ia punya latar belang profesi sebagai jurnalis sadis.

Harapan Ali Budin sebagai pejabat tinggi mengangkat Juedis sebagai kepala PR adalah tidak satu pun kegiatannya luput dari kegiatan pers. Bila perlu kentutnya pun dapat menjadi berita. Bukankah jurnalis pandai memainkan kata-kata, yang tidak menarik menjadi menarik bagi pembaca.

"Saya mengangkat anda, dengan harapan, dapat mempublikasikan seluruh kegiatan. Ini menjadi penting," kata Ali dalam percakapan di ruang kerjanya. Ia pun memberi catatan agar pesan tersebut dapat dilaksanakan. 

Hadir saat itu sekretarisnya yang montok. Matanya sering melotot bila tamunya terlalu banyak bicara kepada atasannya sebagai ungkapan rasa tak senang. Bisa jadi, saat tamu keluar, sekretaris kena damprat karena tamu cerewet tidak dibrifing dahulu sebelum menghadap.

Dua pekan Juedis bekerja sebagai kepala PR terasa jengkel. Pasalnya, seluruh kegiatan Ali Budin harus diabadikan dalam foto tercetak. Di era digital, pikir Juedis, tentu sangat nora. Kampungan. Namun karena ia tidak ingin diberi label tidak loyal dengan atasan, seluruh permintaan itu dipenuhi.

Usai para photografer bekerja meliput, termasuk hasil kerja awak media, ia laporkan dalam bentuk tercetak. Tidak perlu berapa besar ongkos cetak. Tidak perlu berapa besar biaya untuk perjalanan wartawan. Pokoknya, anggaran dicukup-cukupkan.

Alhasil, dalam dua bulan ke depan, tiga kamar besar yang disediakan sebagai tempat menyimpan arsip sesak. Penuh. Dan, Ali Budin pun meminta kepada biro umum untuk mengeluarkan anggaran memperluas rumah pribadinya. 

"Rumah bapak kan besar?"

Mendengar pertanyaan dari anak buahnya seperti itu, Ali Budin marah besar. Sang kepala biro tak paham, seluruh arsip yang disimpan di kediamannya harus tertata rapi. Arsip harus ditempatkan dengan apik sehingga siapa pun yang masuk dapat menikmati perjalanan dirinya bagai tengah berada di sebuah museum mewah.

Ali Budin kini bangga dengan kerja Juedis. Seluruh foto dan video - jelek, buram, tidak pas dari sisi komposisi - seluruhnya diserahkan ke Ali Budin. Dipikirnya, seluruh gambar ini akan memiliki arti penting setelah ia tak lagi menjabat. Gambar atau foto adalah sebuah perjalanan. Jejak seseorang yang dapat disaksikan anak, cucu dan generasi keturunannya kelak.

Di hari paling bahagia, saat ia merayakan ulang tahunnya yang ke-56, Ali Budin terlihat haru. Di halaman kantornya telah kumpul puluhan wartawan. Pikirnya, ini kerja Juedis yang profesional. Mengumpulkan wartawan bertepatan pada saat perayaan ulang tahunnya.

Karenanya, ia secepatnya minta sekretaris pribadi dan Juedis untuk menyediakan kursi. Ia akan memberikan penjelasan prihal apa saja yang akan ditanyai para wartawan. 

"Kau kerja bagus," kata Ali Budin memuji kerja Juedis sambil berjalan.

Belum sempat Ali Budin duduk di kursinya, para wartawan sudah mengepung dirinya. Mereka menyodorkan alat perekam, handphone dan kamera mengarah ke mukanya. Pertanyaan yang diajukan pun sama. Namun pertanyaan disampaikan berebutan.

"Apa komentar bapak, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi antirasuah?" 

"Jadi, pernyataan juru bicara antirasuah semalam seluruhnya benar?"

"Bapak sudah menunjuk pengacara untuk kasus ini?"

Mendengar pernyataan mengejutkan seperti itu, Ali Budin tidak bisa menjawab. Seolah ia tak paham. Apa lagi kabar penetapan sebagai tersangka, sangat mengejutkan. Kepalanya tiba-tiba menjadi pening. Berputar-putar. Ia sekali ini tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi para juru tinta itu. Apa lagi untuk marah, karena mulutnya bungkam. 

Jurnalis sekali ini dirasakan oleh Ali Budin sebagai musuh. Bukan lagi sebagai mitra sejajar. 

Ali Budin belakangan memang asyik dengan sosok dirinya. Ia banyak membuka lembaran dan catatan masa lalu. Apa lagi yang ia saksikan dalam arsip miliknya seolah membawa dirinya melambung tinggi ke atas langit. Ia lupa untuk selalu meng-update informasi setiap hari. Ia tak mengikuti perkembangan berita yang terjadi di sekelilingnya. 

Saat siaran televisi di malam hari memberitakan dirinya ditetapkan sebagai tersangka, Ali Budin tengah asyik di ruang arsip kediamannya. Ia tengah menikmati "manisnya" satu per satu wajahnya tengah diliput media massa. 

Tak satu pun kabar yang tersiar di televisi semalam itu disampaikan anggota keluarganya. Apalagi anak buah, tidak satu pun memberi tahu kabar itu kepadanya. Mereka mengira Ali Budin sudah tahu. Kalau pun diberi tahu, pasti ia mengatakan  dirinya menganggap paling tahu. Terlebih lagi kabar itu yang tidak berkenan di hatinya. Toh, jika disampaikan pun, dimarahi sudah pasti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun