"Bapak sudah menunjuk pengacara untuk kasus ini?"
Mendengar pernyataan mengejutkan seperti itu, Ali Budin tidak bisa menjawab. Seolah ia tak paham. Apa lagi kabar penetapan sebagai tersangka, sangat mengejutkan. Kepalanya tiba-tiba menjadi pening. Berputar-putar. Ia sekali ini tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi para juru tinta itu. Apa lagi untuk marah, karena mulutnya bungkam.Â
Jurnalis sekali ini dirasakan oleh Ali Budin sebagai musuh. Bukan lagi sebagai mitra sejajar.Â
Ali Budin belakangan memang asyik dengan sosok dirinya. Ia banyak membuka lembaran dan catatan masa lalu. Apa lagi yang ia saksikan dalam arsip miliknya seolah membawa dirinya melambung tinggi ke atas langit. Ia lupa untuk selalu meng-update informasi setiap hari. Ia tak mengikuti perkembangan berita yang terjadi di sekelilingnya.Â
Saat siaran televisi di malam hari memberitakan dirinya ditetapkan sebagai tersangka, Ali Budin tengah asyik di ruang arsip kediamannya. Ia tengah menikmati "manisnya" satu per satu wajahnya tengah diliput media massa.Â
Tak satu pun kabar yang tersiar di televisi semalam itu disampaikan anggota keluarganya. Apalagi anak buah, tidak satu pun memberi tahu kabar itu kepadanya. Mereka mengira Ali Budin sudah tahu. Kalau pun diberi tahu, pasti ia mengatakan  dirinya menganggap paling tahu. Terlebih lagi kabar itu yang tidak berkenan di hatinya. Toh, jika disampaikan pun, dimarahi sudah pasti.