Usai para photografer bekerja meliput, termasuk hasil kerja awak media, ia laporkan dalam bentuk tercetak. Tidak perlu berapa besar ongkos cetak. Tidak perlu berapa besar biaya untuk perjalanan wartawan. Pokoknya, anggaran dicukup-cukupkan.
Alhasil, dalam dua bulan ke depan, tiga kamar besar yang disediakan sebagai tempat menyimpan arsip sesak. Penuh. Dan, Ali Budin pun meminta kepada biro umum untuk mengeluarkan anggaran memperluas rumah pribadinya.Â
"Rumah bapak kan besar?"
Mendengar pertanyaan dari anak buahnya seperti itu, Ali Budin marah besar. Sang kepala biro tak paham, seluruh arsip yang disimpan di kediamannya harus tertata rapi. Arsip harus ditempatkan dengan apik sehingga siapa pun yang masuk dapat menikmati perjalanan dirinya bagai tengah berada di sebuah museum mewah.
Ali Budin kini bangga dengan kerja Juedis. Seluruh foto dan video - jelek, buram, tidak pas dari sisi komposisi - seluruhnya diserahkan ke Ali Budin. Dipikirnya, seluruh gambar ini akan memiliki arti penting setelah ia tak lagi menjabat. Gambar atau foto adalah sebuah perjalanan. Jejak seseorang yang dapat disaksikan anak, cucu dan generasi keturunannya kelak.
Di hari paling bahagia, saat ia merayakan ulang tahunnya yang ke-56, Ali Budin terlihat haru. Di halaman kantornya telah kumpul puluhan wartawan. Pikirnya, ini kerja Juedis yang profesional. Mengumpulkan wartawan bertepatan pada saat perayaan ulang tahunnya.
Karenanya, ia secepatnya minta sekretaris pribadi dan Juedis untuk menyediakan kursi. Ia akan memberikan penjelasan prihal apa saja yang akan ditanyai para wartawan.Â
"Kau kerja bagus," kata Ali Budin memuji kerja Juedis sambil berjalan.
Belum sempat Ali Budin duduk di kursinya, para wartawan sudah mengepung dirinya. Mereka menyodorkan alat perekam, handphone dan kamera mengarah ke mukanya. Pertanyaan yang diajukan pun sama. Namun pertanyaan disampaikan berebutan.
"Apa komentar bapak, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi antirasuah?"Â
"Jadi, pernyataan juru bicara antirasuah semalam seluruhnya benar?"