Pro dan kontra tentang penganut kepercayaan boleh atau tidak mengisi kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) berakhir sudah, meski persoalan serupa berikutnya masih menanti untuk segera dituntaskan.
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat, Selasa (7/11/2017) menyatakan, mengabulkan permohonan para penganut kepercayaan yang menggugat aturan pengosongan kolom agama di KTP-el.
"Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Selasa (7/11/2017).
Keputusan MK ini adalah langkah baru dalam urusan pembenahan kependudukan di Tanah Air. Sebab, melalui keputusan itu, para penganut kepercayaan bisa mengisi kolom agama di KTP-el.
MK mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata "agama" yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk "kepercayaan".
Majelis hakim menyatakan kata "agama" dalam pasal 61 Ayat (1) serta pasal 64 ayat (1) UU No. 23/2006 tentang Adminduk bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat orang pemohon. Mereka adalah Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Majelis hakim berkeyakinan pasal 61 ayat (2) dan 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD 45 dan tidak punya kekuatan hukum.
Pasal-pasal itu bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Itu karena dalam rumusannya tertulis, Kartu Keluarga (KK) dan KTP-el memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan.
Para pemerhati hak asasi manusia (HAM) sudah lama mencermati bahwa ketentuan pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan telah menyebabkan terlanggarnya hak-hak dasar penganut kepercayaan. Hal ini adalah sebuah wujud diskriminasi.
Lagi pula pengosongan kolom yang diatur dalam UU itu justru tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil bagi para penganut kepercayaan. Jelas saja ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian penafsiran yang menimbulkan penganut kepercayaan kesulitan memperoleh KK dan KTP-el.
Kasus ini sejatinya tidak boleh terjadi, karena telah menimbulkan kerugian konstitusional. Sebab, secara administratif, identitas sebagai warga negara tak tercatat. Ujungnya, bermuara pada kesulitan untuk mendapat pelayanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan seterusnya.