Lantas, mengapa untuk memperbaiki akhlak itu harus dengan cara mencaci maki? Â Muliakah itu?
Dalam konteks kekinian, penulis menangkap pesan hikmah dari pengajian tersebut bahwa menguatkan akhlak mulia - atau memperbaiki buruknya akhlak - perlu penguatan kesabaran. Sebab, akhlak, tingkah laku atau tabiat manusia punya pertalian erat dengan hati.
Ajaran sabar, dalam pergaulan sehari-hari kerap kali diungkap ada batasnya. Padahal tidak demikian. Sabar adalah sebuah ajaran universal dan tidak memiliki batas waktu. Unlimited. Para rasul dan nabi saja diuji kesabarannya. Nabi Ibrahim diuji menyembelih puteranya, Islamil.
Nabi Musa, yang dikenal keimanannya kuat kepada Allah, toh gagal belajar kesabaran dari Nabi Khidir. Kendati demikian, manusia bisa lulus dari ujian kesabaran. Kuncinya, yaitu selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Sebab, setan itu sudah berjanji kepada Allah sejak diciptakan Adam. Ia tak akan patuh memenuhi perintah Allah, menyembah Adam (dari tanah) karena bangga diciptakan berasal dari api. Penolakan setan itu menyebabkan Allah murka, dan mengutuknya. Setan menyatakan akan terus menggoda anak cucuk Adam hingga kiamat. Dan, Allah mengizinkan, dengan syarat, jika manusia tetap beriman kepada-Nya akan tetap mendapat perlindungan.
Sedekah bukan hanya berupa harta dan uang, senyum pun menjadi sedekah bagi sesama. Karena itu, tidak elok lagi kita, semua, saling mencerca. Para pendiri bangsa, the founding fathers, yang memperjuangkan berdirinya republik ini telah tegas membuat 'rambu-rambu' tentang kehidupan harmonis antarsesama. Berbagai produk hukum pun sudah dilahirkan dari lembaga eksekutif dan legislatif.
Lalu, masih pantaskah jika elite politik mengambil posisi sebagai penonton kala unsur SARA - yang mengganggu kehidupan bernegara - kembali bergaung?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H