Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jauhkan Mengejek Orang Lain, Apalagi Agamanya

8 Oktober 2017   21:20 Diperbarui: 8 Oktober 2017   22:34 1485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yang merayakan ulang tahun didoakan oleh Syech Salim, ketua pengajian. Foto | Dokumen Pribadi.

Dari Pengajian FH'20 Usakti: Jauhkan Mengejek Orang Lain, Apalagi Agamanya

Jika ia yakin adanya Allah, maka dalam kehidupan keseharian - keyakinan yang sudah masuk ke lubuk hati - hendaknya dapat diimplementasikan dengan perbuatan nyata. Misalnya, tidak menyakiti hati orang lain apa lagi agamanya.

Itulah salah satu butir yang diungkap Ustad H Drs Najamuddin Siddiq pada pengajian Fakultas Hukum Angkatan 20 Universitas Trisaksi, Jakarta, Sabtu lalu. Sekali ini pengajian digelar di kediaman Notaris  Olvia Afiati Muis di kawasan Pemukiman Gudang Peluru, Tebet, Jakarta.

Sungguh menarik, ajaran tentang iman ini diangkat untuk menyegarkan ingatan para pesertanya.  Iman, termasuk juga hijrah dan jihat adalah ajaran satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiganya jadi satu kesatuan yang harus diimplementasikan bersamaan, dalam kehidupan sosial hingga dalam praktek kehidupan bernegara.

Dalam Islam, iman harus dapat tergambar dari dalam seorang Muslim. Iman bukan sekedar dimaknai percaya akan ke-Esa-an Yang Maha Pencipta, tapi harus dapat mewujud dalam bentuk kesalehan sosial.

Sebab, iman - yang dalam Islam kemudian jadi landasan (rukun) - harus juga dibarengi dengan mempercayai rasul, malaikat, kitab, hingga hari kiamat dan takdir.  Mempercayai rasul tentu harus dibarengi keyakinan akan kebenaran ajaran yang dibawa dan disampaikan.

Yang merayakan ulang tahun didoakan oleh Syech Salim, ketua pengajian. Foto | Dokumen Pribadi.
Yang merayakan ulang tahun didoakan oleh Syech Salim, ketua pengajian. Foto | Dokumen Pribadi.
Demikian halnya tentang hijrah, yang kemudian dijadikan sebagai kalender dalam Islam hingga sekarang, tidak melulu harus dimaknai sebagai perpindahan fisik seorang Muslim dari satu tempat ke tempat lain. Namun, hijrah juga harus dimaknai sebagai perubahan akhlak, perilaku buruk ke perilaku mulia.

Ucapan seorang Muslim, mengaku sudah beriman, tak akan bermakna hidupnya jika saja terus menerus menghina orang lain. Menyebarkan kebohongan (hoax), fitnah hingga menyakiti orang lain. Termasuk pula mengejek agama milik agama non-muslim.

Jika ditanya tentang iman, ia fasih menjawab dan menjelaskan panjang lebar. Dalam tataran praktek, ajaran yang disampaikan Rasulullah banyak diabaikan. Ternyata, pemahaman masih sebatas penghias bibir. Karenanya, ke depan, penting mempelajari Islam secara keseluruhan dengan melaksanakan ajarannya yang komprehensif dan paripurna. Tegasnya, jadilah Islam kaffah.

Untuk menangkal perbuatan buruk itu, singkat kata, perlu memperkuat semangat jihat. Sayangnya, makna dijahat itu oleh sekelompok orang diplesetkan, membela Islam dan menjelekan agama orang lain. Bahkan, dengan bangga, menantang untuk berdebat tentang ke-esa-an Tuhan. Tuhan yang tunggal milik saya, dan tuhan yang 1.000 milik agama lain.

Jihat harus dimaknai sebagai perjuangan sungguh-sungguh untuk menegakan misi utama umat Manusia. Nabi Muhammad SAW menegaskan, Aku diutus untuk memperbaiki akhlak umat manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun