Mengapa Nikah Siri Tidak Dilarang?
Isu nikah siri kembali jadi bahan pembicaraan di berbagai tempat. Mulai warung kopi di pojok pasar, dekat kawasan perkantoran di berbagai daerah hingga karyawan swasta dan aparatur negeri sipil (ASN) di gedung pencakar langit di wilayah Jakarta pun ikut-ikutan membahasnya.
Ini berawal dari penangkapan Aris Wahyudi, pemilik website nikahsirri.com. Dia ditangkap pihak berwajib belum lama ini dari kediamannya, Perumahan Angkasa Puri, Kelurahan Jatimekar, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, pada Minggu dini hari, 24 September 2017.
Tentu saja sebelum polisi menangkap Wahyudi sudah mempelajari aspek hukum yang akan dikenakan. Sekurangnya pelaku, dari fakta yang ada, telah melakukan tindak pidana UU ITE, UU Pornografi dan UU Perlindungan Anak.
Bagai gayung bersambut. Warga di negeri ini menyambut gembira dan memberi apresiasi kepada pihak kepolisian yang tanggap terhadap pemunculan konten berisi informasi tak senonoh, porno dan tersiar melalui media sosial.
Di Tanah Air, memang, bukan rahasia lagi bahwa kemiskinan akibat keterbelakangan ekonomi, pendidikan rendah dan nafsu bejat "hidung belang" hingga dunia prostitusi banyak diwarnai dan diawali dengan kemasan nikah siri.
Soal nikah siri ini kini makin ramai lagi tatkala soal status keperawanan dan jejaka ikut dibahas di media sosial. Sungguh, suatu kenyataan yang tak dapat dihindari seiring kemajuan teknologi informasi.
Terkait hal ini, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyebut bahwa tren nikah siri dan kontrak berpotensi menjadi pintu masuk penjualan manusia. Untuk itu, KPAI mengutuk keras hadirnya webset nikah siri. Jika tidak cepat ditutup bakal berdampak serius bagi tumbuh kembang anak.
Pernyataan ini sejatinya selaras dengan para aktivis perlindungan anak dan perlindungan perdagangan manusia. Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah?
***
Harus dipahami bahwa perkawinan sejenis, perkawinan antaragama, perkawinan siri, perkawinan kontrak (mut'ah), perkawinan di bawah usia hingga kini masih terus menjadi fenomena yang harus diselesaikan.
Khusus kawin siri beberapa tahun silam pernah menjadi bahasan menarik pula. Hal itu dikaitkan dengan perlu tidaknya sanksi pidana bagi pihak pelakunya.
Ada ulama yang menyatakan bahwa jeratan pidana bagi pelaku nikah siri bertentangan dengan syariah. Sebab, sesuai syariah Islam, persyaratan nikah itu harus ada wali, ijab kabul, mas kawin dan saksi, tanpa ada ketentuan dicatatkan di instansi pemerintah.
Syarat ini dibenarkan semua madzab dalam Islam, mulai madzab Imam Syafi'i, Hanafi dan Hambali. Jika ada sanksi pidana, tentu saja bakal menuai protes luar biasa dari masyarakat.
Demikian halnya dengan pelaku poligami yang tidak izin ke pengadilan. Alasan dia, poligami adalah salah satu cara untuk menghindari perzinaan.
Ketua Pusat Studi Wanita (PSW/LPPM) Unair Surabaya, Dr Emy Susanti Hendrarso MA beberapa tahun silam pernah menyatakan, pemberian sanksi bagi pelaku nikah siri adalah untuk melindungi perempuan agar tak masuk dalam perkawinan bermasalah.
Hingga kini, meski nikah siri dianggap sebagai prostitusi terselubung, namun masih banyak pihak menyatakan tidak setuju dengan ancaman pidana dalam perkawinan siri maupun poligami, karena dinilainya bertentangan dengan Alquran.
Di dalam Alquran tidak dijelaskan kewajiban untuk mencatatkan poligami ke instansi negara. Karena itu, ke depan nanti ada aturan nikah siri dikenai pidana maka bisa jadi hal itu sebagai perbuatan menabrak hukum Alquran.
Ada pria menjalani poligami tanpa meminta izin dari pengadilan karena izin dari istri pertama sudah cukup baginya. Dasarnya, Alquran mengharuskan umat Muslim taat kepada Allah dan Rasul. Rasul sendiri melakukan poligami, berarti secara aturan agama itu diperbolehkan. Jadi, tidak benar kalau harus dipidana karena poligami.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Senin (25/9/2017) mengeluarkan pernyataan. Nikah siri yang difasilitasi situs nikahsirri.com melanggar Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Nikah siri itu, walaupun menggunakan dalil agama sah, tapi secara Undang-Undang Perkawinan dilarang. Sebab nikahnya tidak di hadapan aparat negara (Kantor Urusan Agama), kata anggota Dewan Pertimbangan MUI Amidhan Shaberah.
Mengutip hasil keputusan ijtima' ulama seluruh Indonesia di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada 2006, MUI mengeluarkan fatwa mengenai nikah siri. Nikah siri atau di bawah tangan sah bila untuk membina rumah tangga, namun haram jika menimbulkan mudharat.
Jadi nikah itu harus ditetapkan dan tercatat di KUA, agar ada surat nikah. Surat nikah ini penting bagi istri dan anak nantinya. Anak perlu identitas berupa akte lahir. Akte lahir untuk data kependudukan, kartu keluarga dan identitas jati diri lainnya berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Maka kini semakin jelas bahwa kawin siri sangat berpotensi menimbulkan masalah ke depannya. Jika perkawinan tak tercatat, ke depan, akan membawa implikasi hukum bagi anak-anak mereka dan bahkan persoalan lainnya.
Peran KUA sangat penting dan sudah harus mensosialisasikan nikah secara benar kepada masyarakat. Nikah siri dan segala dampaknya yang ditimbulkan harus dapat dicegah. Dengan sosialisasi pernikahan yang benar, maka ke depan, nikah siri akan dapat dihindari.
Tapi, selama belum ada ketegasan (pemerintah) dan kedudukan atau posisi nikah siri, di mata hukum terus "ngegantung", maka hal ini akan dimanfaatkan para "hidung belang".Â
Pelaku prostitusi akan memanfaatkan peluang ini untuk tetap mencari untung dengan cara main "kucing-kucingan" dengan aparat penegak hukum. Bisa jadi, sampai "Lebaran Kuda" pun masalahnya tak akan selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H