Judul di atas sengaja penulis angkat meski bisa menimbulkan persepsi dan interpretasi beragam di khalayak luas. Kok, ibadah haji disertai nafsu?
"Ya, nggak lucu lah," jawab rekanku prihal judul tulisan ini.
Jangan dikira ibadah tanpa nafsu. Kalau nggak ada nafsu, mana mungkin orang beramai-ramai dari seluruh dunia bersemangat dalam melaksanakan ibadah haji. Itu yang membedakan antara manusia dan binatang. Kelebihan Allah menciptakan mahluk yang namanya manusia adalah pada nafsunya. Tetapi juga dia disertai akal budi, sehingga derajatnya lebih tinggi dibanding binatang tentunya.
Saya tidak bermaksud mengupas hal ini karena merupakan bagian para ulama, tokoh agama dan pendidik. Tetapi saya ingin menuangkan dan berbagi prihal nafsu yang membelit calon jemaah haji. Anggota calon jemaah haji -khususnya dari Indonesia- diharapkan tidak mengedepankan nafsu dalam beribadah.
Dari sudut pandang penulis, terutama ketika bergabung bersama tim Media Center Haji (MCH) di Tanah Suci, calon jemaah haji -saya sebut 'calon' karena belum wukuf- di Mekkah menguras tenaga habis-habisan untuk melaksanakan ritual umrah.
Jika ditanya oleh sang ustadz, berapa kali umrahnya? Lantas, sang calon jemaah haji itu menjawabnya dengan bangga baru lima kali. Kemarin baru saja sanggup tiga kali. Ke depan, Insya Allah sehari bisa lima kali umrah asal kondisi Masjidil Haram tidak terlalu padat. Padahal, saat puncak musim haji masjid terbesar di dunia ini tak pernah lengang. Apa lagi sepi.
Wah, jawaban sudah lima kali dan menargetkan beberapa kali lagi umrah ke depannya sungguh suatu pekerjaan yang menguras tenaga. Biasanya calon jemaah haji tadi mengambil miqat di Masjid Aisyah, kawasan Tan'im yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Masjidil Haram.
Seusai mandi dan mengenakan pakaian ihram di masjid yang terasa nyaman ini, mereka lantas bergerombolan naik angkot, membayar dengan ongkos dua atau tiga rial. Di Majidil Haram lalu melakukan tawaf, sai dan disudahi dengan tahalul. Kedengarannya pekerjaan ringan, bukan?
Di kawasan Tan'im itu, yang letaknya di sebelah utara Masjidil Haram (sekitar 7.5 Km) di pinggir jalan raya menuju kota suci Madinah, sekaligus menjadi pembatas utara Tanah Haram, calon jemaah haji --termasuk dari beberapa negara Muslim lainnya- melakukan umrah untuk anggota keluarganya.
Hari ini umrah untuk babe, besok untuk enyak. Besok umrah lagi untuk umi, abi, eyang, encing, encang, mama, engkong dan seterusnya. Begitulah yang memang dibenarkan melakukan umrah dan menjadi hak jemaah untuk menunaikannya. Tetapi, ingat, dari sisi kesehatan tentu manusia punya batas. Sebutannya saja ibadah haji bukan mengedepankan dan mementingkan ibadah umrahnya tetapi pada pelaksanaan wukuf di Arafah.