Mencuatnya fenomena memprotes kehadiran patung membuat hatiku jadi tambah 'dag dig dug'. Khawatir protes dari kelompok penentang kehadiran patung raksasa dewa Kongco Kwan Sing Tee Koen di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban, Jawa Timur, menginspirasi pihak lain 'ikut-ikutan' nimbrung tanpa disertai akal sehat menuntut patung Gus Dur pun dimusnahkan.
Bisa jadi karena terinspirasi protes tersebut, ke depannya setiap patung, apa pun bentuknya yang dibangun, diprotes. Apakah bentuknya buah-buahan, beragam binatang seperti macan, harimau, badak, lambang negara Garuda Pancasila dianggap sebagai perbuatan musyrik dari sisi agama.
Pernakah Anda mendengar anak sekolah menolak memberi hormat kepada bendara Merah Putih lantaran 'termakan' ajaran bahwa menghormati bendera sebagai perbuatan menyembah berhala?
Laman Jurnal Toddoppuli pernah mengangkat perihal ini. Penghormatan terhadap bendera dianggap sebagai tindakan musyrik, karena sama saja menghormati benda mati. Peristiwa ini terjadi di Karanganyar, Jawa Timur. Itulah sebabnya mengapa sekolah bersangkutan tidak pernah menggelar upacara setiap hari Senin.
Belakangan penolakan tersebut, seperti diungkap Kepala Kantor Kementerian Agama Karanganyar, Juhdi Amin, merupakan adopsi pihak sekolah dari Timur Tengah. Hal ini dibenarkan pula oleh salah satu pengurus MUI, KH Cholil Ridwan. Mereka itu memegang ajaran Wahabiyah, yakni ajaran yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1115 -- 1206 H/1701 -- 1793 M).
Pihak kepala sekolah SD Islam Sains Teknologi Al Albani dan SMP Al Irsyad menolak menghormati bendera. Mereka menilai penghormatan terhadap bendera adalah bid'ah yang mengarah kepada kemusyrikan. Sama halnya dengan ziarah ke makam.
Maka, jelas saja ajaran sesat tersebut telah merusak kehidupan anak-anak dalam bernegara.
***
Dan terkait berdirinya patung Kongco Kwan Sing Tee Koen, di Purwakarta, Jawa Barat, jauh sebelumnya telah mengemuka soal patung yang dibangun Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.
Hadirnya sejumlah patung di daerah itu belakangan oleh sekelompok warga yang mengatasnamakan tokoh agama dinyatakan sebagai perbuatan musyrik. Mengingat momentumnya mendekati Pilkada 2018, isu itu kemudian "digoreng" oleh sekelompok orang dan dijadikan komoditas politik.
Dedi Mulyadi diisukan musyrik karena banyak membangun patung meski ia sudah menjelaskan bahwa kehadiran patung-patung itu semata untuk estetika kota. Patung-patung itu dibuat untuk kebutuhan keindahan di daerahnya. Awalnya, kehadiran patung-patung juga tak ada penolakan karena memang masyarakat menyukainya.