Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alhamdulillah, "Terompet" Kemenag Bunyi Lagi?

6 Agustus 2017   22:55 Diperbarui: 7 Agustus 2017   17:05 2254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Mastuki ketika memberikan penjelasan prihal pencabutan izin First Travel. Foto | Tribunnews.com

Kukucek mataku berulang-ulang, meski saat itu tidak merasa kelilipan. Kuulangi. Kukucek dan kukucek mata ini sampai terasa panas. Lantas kuhentikan tindakan bodoh itu hanya disebabkan 'terpancing', tidak merasa yakin, tatkala secara tiba-tiba melihat tayangan stasiun televisi tampil sosok seorang Humas Kemenag tengah bicara.

Cukup lama, mungkin dalam beberapa tahunan, tak pernah menyaksikan seorang Public Relations (PR) dari kementerian penjaga moral ini tampil di layar kaca. Baru kali ini terlihat dan yang diangkat dalam pembicaraan tersebut pun masalah cukup penting. Ya, kalau bukan menyangkut pelayanan publik yang sekali ini menyangkut pencabutan izin izin operasional PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel) sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Biro perjalanan ini sudah lama kehadirannnya dikeluhkan karena banyak merugikan Jemaah yang jadi "mangsanya".

Tampilnya Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kementerian Agama dalam sebuah tayangan di layar kaca tergolong langka. Sejak 10 tahun silam, seingat penulis, hanya Bapak Mashuri dan Bapak Jubaedi yang rada berani tampil di layar kaca di hadapan publik tanpa seorang pimpinannya, apakah Sekjen, Dirjen atau Menteri Agama.

Kepala Kapuspinmas Kemenag Mashuri tak menjabat lagi lantaran memasuki usia pensiun. Bapak Jubaedi melepaskan jabatan dan mundur lantaran banyak ketidaksepahaman dengan menterinya karena "ditekan" harus banyak mengeluarkan dana "ini dan itu". Maklum, Menteri Agama pada era itu "ngebet" ingin jadi wakil presiden. Bisa jadi, pencitraannya pun harus baik yang membawa konsekuensi besarnya anggaran dari bidang kehumasan.

Harapan saya, tampilnya Kepala Biro Humas Kemenag sebagai "terompet" sayogyanya harus mendorong semangat kerja personil atau ASN kementerian itu sendiri. Bukan hanya pencitraan, tetapi harus memiliki "wibawa" tatkala suara yang disampaikan ke seluruh pelosok negeri dapat diindahkan.

Sudah lama humas kementerian ini tidak tampil sebagai "terompet", "corong", "beduk" atau pun "gendang" berbunyi nyaring. Menyuarakan Islam Rahmatan Lil Alamin sebagai kebutuhan anak bangsa dari Sabang sampai Merauke. Nyaring tak sekedar bunyi, tetapi memang suara yang diinginkan: saat "panas" bisa sejuk, saat terjadi 'anomali' gerakan agama meresahkan warga sang jubir dapat menenangkannya.

Di rubrik ini penulis pernah mengingatkan bahwa pada era keterbukaan informasi dan reformasi birokrasi, humas di sejumlah lembaga pemerintah ditempatkan berada di garda depan sebagai layanan informasi publik.

Oleh karena itu, diperlukan narasumber yang mampu menyampaikan program kerjanya dengan baik. Termasuk humas di kementerian ini yang diharapkan dapat berkomunikasi dengan baik kepada publik, termasuk awak media.

"Terompet" Kemenag tentu tidak sama dengan terompet milik sang Malaikat Isrofil. Suara yang diangkat diharapkan jauh dari suara tong kosong, karena yang disampaikan memiliki akurasi data kuat. Hal ini sangat penting, karena tugas PR tak melulu "menguatkan" suara pimpinan semata, tetapi memberi pemahaman luas bagi seluruh umat.

***
Sungguh menggembirakan, di tengah masyarakat bertanya-tanya tentang peran kementerian itu terkait "perilaku" First Travel, Jubir Kemenag Mastuki tampil memberi penjelasan di layar kaca pada Ahad pagi (6/8/2017). Kesannya memang terlambat tindakan dari Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) mencabut izin biro perjalanan umrah ini.

Cukup lama calon jemaah umrah dari berbagai daerah mendesak Ditjen PHU Kemenag untuk segera mengambil sikap tegas dengan mencabut izin biro perjalanan umrah First Travel. Tidak ada itikad baik dari manajemen First Travel untuk menyelesaikan persoalan, apalagi memberangkatkan calon jemaah untuk segera berangkat.

Tapi, dari penjelasan Mastuki, dapat diperoleh pemahaman bahwa mencabut izin sebuah biro perjalanan tidak semudah membalik sebelah telapak tangan. Ada beberapa pihak yang terlibat untuk mengentikan sebuah biro perjalanan. Yaitu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Bareskrim Polri.

Kemenag pun sudah cukup berbaik hati kepada biro perjalanan ini. Yaitu, menjadi mediasi antara Jemaah yang menjadi korban dari biro bersangkutan dan anggota jemaah umrah yang ditelantarkan. Sayang, pimpinan First Travel tidak kooperatif. Jangankan mengirim utusan ketika diundang, menghadirkan wakilnya saja pada pertemuan di Kemenag tidak pernah.

Lantas, apa pelajaran yang dapat dipetik dari kasus First Travel? Di sini pentingnya peran "terompet " dari Kemenag, yaitu membawa publik untuk melek media (sosial) agar dapat memahami sosialisasi yang digencarkan Ditjen PHU. Yaitu, program lima pasti.

Kelima gerakan lima pasti umrah itu berupa (1) memastikan biro perjalanan ibadah umrah memiliki izin resmi, (2) Memastikan jadwal keberangkatan dan penerbangan ke Tanah Suci, (3) Pastikan harga dan paket yang ditawarkan biro perjalanan ibadah umrah, (4) Jamaah harus memastikan nama penginapan selama di Tanah Suci, (5) Jamaah harus memastikan visa umrahnya. Normalnya 2 hari sebelum berangkat jamaah sudah bisa mendapatkan visa. Jangan sampai pada hari H jamaah belum tahu apakah mendapat visa atau belum.

Sosialisasi ini saja belum cukup. Sebab, pendekatan ke kalangan ustadz dan ustadzah perlu mengingat mata rantai biro perjalanan ternyata banyak melibatkan tokoh informal ini. Di lingkungan majelis ta'lim, promosi umrah kini semakin gencar.

***

Sayogyanya, penjelasan Humas Kemenag seperti itu juga dapat dilakukan untuk bidang-bidang lainnya. Kita pun memahami bahwa urusan dari kementerian ini menyangkut setiap individu mulai sejak lahir, pendidikannya, menikahkannya, ritual ibdah lainnya seperti urusan haji hingga akhir hayat. Mati saja setiap orang harus melibatkan ustadz: memandikan, menggotong mayat, menyolatkan mayat hingga ke liang lahat. Hui.... Pokoknya banyak!

Di tengah musim haji 2017, Humas Kemenag harus piawai menjelaskan situasi dan isu terkini tentang Jemaah. Tentang penerbangan yang secara rutin disampaikan kepada publik. Termasuk penjelasan kelengkapan wukuf di Arafah nanti.

Itu saja belum cukup. Sektor lain perlu penjelasan. Misal tentang penyaluran dana operasional sekolah mengingat masih banyak lembaga pendidikan di bawah kementerian ini nasibnya "hidup segan mati tak mau". Tak heran, Pemerintah Australia pun ikut memberi kontribusi memajukan pendidikan. Setiap tahun, publik ingin tahu progresnya sampai dimana.

Lebih menarik lagi pentingnya penjelasan posisi Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Pusat yang nasibnya perlu uluran tangan. Badan ini tidak pernah lagi mendapat bantuan dari kementerian ini. Kabarnya berbagai dana untuk pemahaman perkawinan dipangkas. Padahal, dulu, hadirnya kementerian ini berawal dari keprihatinan tingginya angka perceraian di Tanah Air.

Kini, soal kawin-mawin tak lagi mendapat perhatian dari kementerian ini. Adakah "corong" kementerian bisa bunyi 'nyaring' untuk menjelaskan duduk soalnya secara proporsional. Kita nantikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun