Menyangkut pelayanan bidang agama, tak satu pun steril dari keterlibatan oknum tangan kotor. Pernah mengemuka korupsi Alquran, pernah mencuat kasus gratifikasi pelayanan nikah oleh oknum penghulu, dana haji ditilep hingga menyebabkan menterinya berurusan dengan hotel prodeo, dana kain kafan dikorupsi, hingga makam fiktif, terjadi di Jakarta.
Rasanya sakit jika mengingat kasus-kasus tersebut. Penulis tak bermaksud membangkitkan batang terendam meski hal itu masih terasa penting sebagai pembelajaran agar tidak terulang kembali. Ada yang terasa menggembirakan setelah manajemen nikah diatur Bimas Islam Kementerian Agama kini jauh lebih baik, yaitu gratifikasi sudah tak terdengar lagi.
Kini ada fenomena baru, tatkala hari libur panjang (Idul Fitri) atau pun kantor Kementerian Agama di berbagai daerah tengah kosong, terjadi pencurian buku nikah.
Kasus ini bisa jadi punya kaitan dengan jaringan perdagangan buku nikah. Seperti diberitakan sekitar 2.000 pasang buku nikah di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat (Sumbar) hilang dicuri ketika libur Lebaran 1438 Hijriah.
"Benar, telah terjadi pencurian di Kemenag Pasaman Barat pada Minggu (25/6) berdasarkan LP/202/VI/2017-Res Pasbar," kata Kepala Kepolisian Resor (Polres) Pasaman Barat, AKBP Iman Pribadi Santoso didampingi Kepala Sub Bagian Humas, AKP Muzhendra di Simpang Empat, Senin (26/6). Buku nikah yang hilang itu punya nomor seri SB 5663501 sampai dengan SB 5665500.
Kejadian ini bukan yang pertama kali. Tahun lalu di Bengkulu ratusan buku nikah hilang.
Pada tahun yang sama di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, masyarakat setempat dikagetkan dengan pencurian buku nikah. Ini karena barang yang dicuri tidak umum. Bukan perhiasan berharga atau elektronik mahal. Melainkan stok buku nikah yang berada di KUA.
Yang ditakutkan adalah sindikat pencurian buku nikah di kantor KUA itu akan disalahgunakan dan diperjualbelikan. Padahal, buku nikah merupakan dokumen negara.
Beberapa tahun silam, petugas haji juga mendapati buku nikah yang dibawa Jemaah haji dari Tanah Air. Kasus ini mendapat perhatian pihak aparat dan pelakunya telah diproses hukum.
Kini menjadi penting menghadirkan atase agama di luar negeri. Sebab, urusan agama sepertinya masih dipandang “sebelah mata”. Hal ini tidak lepas dari adanya pandangan bahwa umat baru membutuhkan penghulu saat akan nikah, membutuhkan pemandi mayat (modin) saat tetangga atau anggota keluarga meninggal. Pembaca doa dibutuhkan saat ulang tahun kantor atau anak nikah di rumah.
Memang urusan ritual keagamaan tidak setiap hari dibutuhkan meski dalam menjalankan ibadah sehari-hari kehadiran seorang imam sangat penting jika shalat di masjid atau langgar.
Boleh jadi karena adanya pandangan seperti itu, pelayanan umat atau warga negara Indonesia di luar negeri, khususnya nikah, sampai saat ini masih dinilai belum terlalu penting. Beberapa waktu lalu, wacana kehadiran atase agama pernah menjadi diskusi kecil-kecilan di lingkungan Bimas Islam. Sayang untuk realisasinya, sepengetahuan penulis, masih nihil.
Di Kuala Lumpur, nikah dilakukan berupa massal. Termasuk di negara bagian Malaysia: Kucing (Serawak) dan Kinibalu (Sabah). Penyelenggaraan nikah tidak seperti dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Tergantung pihak KBRI setempat. Tetkala punya dana, barulah diselenggarakan. Tegasnya, tergantung ‘mood’ dari petugas setempat.
Ingat, jumlah tenaga kerja Indonesia di Malaysia, Arab Saudi dan negara sahabat di Timur Tengah angkanya bisa mencapai jutaan. Belum lagi di Hongkong, Korea Selatan dan Jepang. Tidak ada data resmi berapa banyak WNI di negeri jiran atau Timur Tengah kawin di bawah tangan alias nikah ilegal.
Pernah penulis, dalam perjalanan pulang dari Jepang dan mampir di Hongkong, menjumpai beberapa TKI di sebuah taman luas di kota bersangkutan. Dari obrolan ringan, diperoleh cerita bahwa ada warga Indonesia nikah dengan warga negara lain tanpa dukungan dokumen.
Sebetulnya mereka menginginkan nikah secara formal dan dapat pengakuan dari negara. Tapi, karena ketidaktahuan atau akses informasi ke konsulat setempat tidak ada, apa boleh buat. Terjadi, ya terjadilah. Isu kumpul kebo pun tak diperhatikan pemerintah.
Ketika penulis bertugas Media Center Haji (MCH) pada musim haji 2007, 2008 hingga 2010, kasus serupa juga terjadi di Jeddah. Ribuan tenaga kerja Indonesia "overstayers", termasuk anak mereka, memenuhi kolong Jembatan Palestine Street Jeddah, Arab Saudi. Banyak TKI yang sudah habis masa tinggalnya itu, di tempat yang sama jatuh cinta dengan pasangan berkebangsaan asing.
Bisa dibayangkan, dari seorang ibu ketika kembali ke Tanah Air kemudian melahirkan dan punya anak jauh lebih ganteng dari rata-rata orang Indonsia. Mereka ini sudah berhasil dari sisi memperbaiki keturunan. Tetapi dari status jati diri anak menjadi tidak jelas ke depannya.
Kasus ini banyak ditutupi. Bagi pemerintah Arab Saudi, TKI yang overstay – empat tahun silam – sering dipulangkan ke Tanah Air oleh pemerintah setempat secara massal. Beberapa lembaga sosial, LSM atau NGO yang punya kepedulian dengan nasib TKI di sini, pernah mengumpulkan uang lalu memulangkan saudara kita yang bernasib kurang baik itu ke Tanah Air.
Nikah ilegal di luar negeri, terutama di negara yang banyak menyerap tenaga kerja asal Indonesia, banyak terjadi. Sepintas dokumen mereka lengkap karena punya buku nikah asal Indonesia. Buku nikah ini dibawa oknum Jemaah haji dengan berbagai cara ilegal. Dapat ditarik kesimpulan, hal itu menyangkut jaringan mafia, mengingat keuntungan yang diperoleh menggembirakan.
Buku nikah selama tinggal di luar negeri menjadi penting. Sebabnya, petugas atau pihak otoritas setempat kadang memintanya sebagai kelengkapan dukungan dokumen lainnya, seperti paspor dan kartu keluarga.
Karena itu, Ditjen Bimas Islam, Kementerian Agama, berulang kali mengimbau umat muslim untuk menghindari nikah siri atau pun nikah secara ilegal. Sebab, selain menyulitkan kedua pasangan dalam berumah tangga, juga menjadi bibit masalah bagi keluarga di masa datang.
Yang enak kan awal-awalnya saja. Selanjutnya, memang terserah, Tetapi yang jelas Kementerian Agama kini sudah memberi kemudahan, membebaskan seluruh biaya nikah jika dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah di KUA gratis dan jika diselenggarakan di hari libur atau di kediaman/tempat lainnya dikenai biaya Rp600 ribu,
Melaksanakan nikah memang harus melengkapi dokumen, seperti ada surat pengantar dari ketua rukun tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) hingga sampai kelurahan/kecamatan, tetapi itu semua tak boleh menjadi hambatan.
Sayangnya, penanganan pelayanan keagamaan –termasuk soal nikah– di luar negeri masih dianggap urusan pribadi masing-masing. Imbauah nikah secara resmi tak berbanding lurus dengan pelayanan di lapangan. Padahal, mereka itu juga WNI yang membutuhkan pelayanan sama seperti warga Indonesia di Tanah Air. Selama itu hal ini tidak diseriusi, pencurian buku nikah akan terus terjadi. Repotlah!
Solusi tepat untuk menekan aksi pencurian buku nikah, terutama di sejumlah kantor Kementerian Agama, adalah menghadirkan atase agama di luar negeri. Ini adalah bentuk bahwa negara hadir untuk melayani rakyatnya di luar negeri. Dengan cara itu, penggunaan buku nikah secara resmi dapat diawasi ketat.
Semoga ini dapat diwujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H