Lebaran tahun ini terasa tidak nyaman bagi Zainab. Bukan disebabkan kurang duit untuk membuat ketupat dan membeli daging sapi yang harganya tengah melambung tinggi. Juga bukan tidak mampu melengkapi makanan yang tersedia di meja meyambut tetamu dengan dodol Betawi.
Apa lagi membeli pakaian baru untuk mertua dan anak-anak. Duit pemberian dari suaminya, Bang Jali lebih dari cukup. Apa lagi sekarang Bang Jali gajinya "gede", karena baru saja diangkat jadi manajer di perusahaannya.
Rasa tidak enak di diri Zaenab bukan karena mertua tidak senang. Apa lagi sekarang melihat Bang Jali rada keren. Sedikit kece-lah, kayak anak muda tetangganya: pakaian necis, rambut disisir rapi dan mengkilat walau tanpa minyak rambut. Kadang tetangga sebelah ngomongin Bang Jali makin rapi itu dengan menyebu,: "Kalo ada laler nemplok di kepala, pasti kepleset. Saking rapinya rambut di atas kepala Bang Jali itu."
"Mertua senang karena merasa anaknya diurusi bininya," kata para tetangga lagi.
Zaenab nggak terpengaruh dengan ocehan para tetangga tentang Bang Jali, suaminya yang makin dicintai itu. Apa lagi sekarang sudah jadi manajer, nggak sombong orangnya sama siapa saja. Supel, rajin kerjanya, sayang sama keluarga. Dan, yang penting, rajin pula nyetor gajinya kepada bini tersayang.
"Ini karena doa. Doa semua orang, yang meminta ketika aye nikah dengan Bang Jali supaya dapat dijadikan keluarga yang senang. Menjadi keluarga sakinah, mawadah dan waromah," kata Zaenab dalam hati sambil mensyukuri apa yang diperolehnya. Sebagai rasa syukur, ia pun mengungkapkan kebahagiannya itu dengan membeli pakaian baru untuk beberapa orang anggota keluarganya.
Tidak seperti tetangga, suami yang ngatur keuangan dapur. Gaji yang diberikan ke bininya diirit. Encret-encret. Padahal dompetnya penuh duit dan kartu plastik. Ini uang lelaki, ini uang bagian bini tapi ada di dompetnya.
“Hu, lelaki bahil macem gitu mah,” katanya.
Enyak, babe, mertua dan encangnya yang nggak jauh dari rumah ia usahakan dibelikan baju baru. Termasuk mamangya, Bang Thamrin meskipun tergolong orang kaya di kawasan Kampung Ceger, salah satu kelurahan di kawasan Jakarta Timur.
Lantas, apa sih yang membuat Zaerab merasa tidak bahagia menjelang lebaran tahun ini?
Sederhanya sih penyebabnya. Cuma kerudung Siti, milik anak semata wayang pasangan Bang Jali dan Zaenab itu. Kerudung Siti, gadis mungil kecil manis berusia lima tahun ini hilang. Kerudung baru itu dibelikan oleh neneknya. Nenek Siti, yang biasa dipanggil Enyak Soleha. Kemarin Enyak Soleha nyap-nyap lantaran kerudung Siti hilang. Enyak Soleha memarahi anaknya, Zaenab karena dianggap kerjanya ceroboh. Nggak teliti dalam menjaga amanah orang tua.
"Dikasih amanah orang tua, barang kecil saja tidak mampu dijaga. Apa lagi jagain suami yang juga amanah dari Allah," kata Enyak Soleha dengan nada tinggi. Kerudung yang dibelikan Enyak Soleha menurutnya tergolong spesial, bukan karena harganya rada mahal tetapi cocok dengan baju Siti yang dibelikan Zaenab.
Enyak Soleha telah berupaya memadukan warna dengan baju Siti yang baru. Kerudungnya rada khas, punya manik-manik seperti batu kecil sebesar butiran beras pera mengkrelep. Pokoknya, menurut Enyak Soleha kalo dicari menjelang Ramadan ini di pasar-pasar tradisional dan swalayan nggak bakal ketemu lagi.
Bisa jadi hal itulah yang menyebabkan enyaknya Zaenab itu nyap-nyap menjelang Lebaran dengan nada keras. Sekeras ketika masa kecil Zaenap dimaraih karena banyak main, nggak mau ngaji di langgar terdekat.
Di dapur, Zaenab ngelamun. Ingat kata-kata enyaknya. Demikian sayangnya nenek kepada cucunya, Siti. Sampe-sampe dibelain beli kerudung, supaya cucuknya terbiasa sampai dewasa mengenakannya.
Kate orang sekarang, pake hijab seperti yang diajarkan agama. Tapi, kerudung yang dibelikan enyak rada khusus. Nggak bisa dan bahkan sulit dibeli lagi. Terlebih lebaran sudah makin dekat.
"Pasti pedagangnya sudah pada mudik," pikir Zaenab sambil menunggu opor ayam yang dimasaknya matang.
Beruntung sehari menjelang Lebaran ini suaminya pulang lebih awal. Kan, menyambut Lebaran, pikirnya.
Setelah melihat Bang Jali rada rileks, Zaenab mendekat. Lantas ia menceritakan prihal kerurung yang hilang milik Siti, gadis semata wayangnya itu.
Zaenab: Bang, kerudung milik Siti ilang. Enyak nyap-nyap, aye diomelin.
Bang Jali: Ilang gimane. Kok bisa ilang
Zaenab: Itulah Bang. Aye nggak ati-ati. Enggak enak sama Enyak sekarang.
Zaenab tampak sedih. Hati Bang Jali melas. Kok bisa terjadi. Lantas ia pun minta isterinya itu mengingat-ingat, kira-kira di mana barang itu bisa hilang.
Zaenab: Kaleee, kebawa baju baru yang dibagikan kepada enyak, babe, mertua. Bisa jadi nyelip di dalam ‘paper bag’ di antara baju baru yang diberikan kepada Bang Thamrin sebagai hadiah lebaran ntu.
Zaenab cari akal, bagaimana caranya kalau benar-benar kerudung itu nyelip dan terbawa bersama pakaian baru yang diberikan ke Bang Thamrin. Lalu ia minta Bang Jali mendatangi kediaman Bang Thamrin. Pura-pura mau beli kerudung antik, seperti yang dibelikan enyaknya untuk Siti.
Lama terdiam. Kalau saja itu bukan bulan Ramadan, ia pasti sudah menengguk air putih bergelas-gelas. Pusing. Bang Jali akhirnya nggak tahan melihat isterinya yang berlinang air mata. Barangnya nggak mahal, sih. Tapi, untuk mendapatkan kerudung Siti yang hilang ini rada ribet. Muka harus tebel, apa lagi yang didatangi orangnya rada kaya. Harusnya nggak perlu dikasih baju baru, karena orang miskin yang perlu mendapat perhatian lebih banyak lagi.
"Ah, daripada mikirin bisa ribut sama bini," pikir Bang Jali dalam hati.
Daripada ngedumel, takut pahala puasa hilang, Bang Jali beranjak dari kursinya. Sore itu, menjelang magrib Bang Jali sudah di kediaman Bang Thamrin. Keluarga ini tengah bersiap-siap buka puasa. Tentu saja merasa senang kedatangan tamu yang karirnya tengah naik daun, jadi manajer baru pula.
Tanpa berpanjang kalam, Bang Jali menceritakan prihal kerudung Siti yang hilang. Neneknya nyap-nyap terus. Zaenab nangis. Karena itu ia minta tolong kalau kerudung Siti yang baru ikut terbawa dapat dikembalikan.
Mendengar cerita itu, Bang Thamrin tertawa keras. Bininya pun di dapur yang mendengar cerita Bang Jali ikut tertawa. Bang Jali terlihat malu. Tapi Bang Thamrin maklum, apa lagi keluarga Bang Jali tergolong "muda", belum banyak makan asem garem. Tapi ia merasa bersyukur punya saudara masih memberi perhatian, walau yang diberikan harganya tidak terlalu tinggi. Tetapi, niat baiknya itu harus diberi apresiasi.
"Ade tuh kerudungnya. Aye kok ampe bingung, kerudung kok kecil banget," sambung bini Bang Thamrin dari dapur.
Belum selesai mereka bicara, suara beduk disusul azan magrib pun berkumandang dari langgar terdekat. Bang Jali diminta ikut buka puasa bersama.
Terlihat, mereka gembira, karena esoknya lebaran. Hari kemenangan yang malam itu juga disambut dengan takbiran.
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.
Ceger, 26 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H