Hikmah Sebuah Perjalanan Lantas Kepincut Doa Terlarang Ustadz Yusuf Mansur
Meski waktu untuk shalat zuhur masih cukup lama, kusempatkan mampir di toko Walisongo di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat. Tujuannya hanya ingin shalat zuhur di masjid lantai bawah toko buku yang banyak menjual buku-buku karya ulama besar, sejarah Islam, sejumlah tafsir Alquran dan novel bercorak relegius.
Masjid yang kumaksud adalah Masjid al-A'raf, yang didirikan pemilik toko buku bersangkutan. Yaitu, H. Masagung. Kuambil air wudhu yang tersedia di muka toko, lalu melangkah berloncat-loncat kecil lantaran tak menggunakan alas kaki seperti sandal jepit menuju ruang bawah toko. Shalat kulakukan seorang diri, tanpa imam karena tidak tepat waktu.
Agak terganggu shalat, karena suara pengunjung masjid terlalu banyak yang tidur pulas. Suara orang mendengkur, ngorok, lebih keras dibanding sejumlah orang yang tengah membaca Alquran di situ. Maklum, pada Senin (19/6) di bulan Ramadan ini umat Islam tengah kencang-kencangnya melakukan aktivitas malam: shalat tarawih, i'tikaf dan kegiatan relegius lainnya. Boleh jadi, mereka yang terlelap tidur itu karena lelah. Di bulan Ramadan ini, orang puasa, tidurnya pun tetap berpahala. He he he he pikirku.
Apa lagi masjid al-A'raf dilengkapi karpet lembut, bersih, suasana tenang ditambah lagi dengan kondisi AC yang sejuk menambah betah dan berlama-lama bagi jemaah masjid bersangkutan. Tanpa sadar, menyaksikan masjid yang banyak dimanfaatkan warga Jakarta untuk ibadah dan istirahat ini, dari mulutku keluar untaian doa agar H. Masagung mendapat tempat yang layak di sisi Allah dan seluruh amal perbuatan baiknya dapat diterima-Nya.
Kuingat dari berbagai catatan bahwa dua pekan sebelum meninggal, Masagung merayakan ulang tahunnya ke-63 pada 8 September 1990. Masagung (dengan nama semasa kecil Tjio Wie Tay, lahir 8 September 1927) tidak pernah mengadakan ulang tahun bagi dirinya. Namun di luar ulang tahunnya itu ia mendapat kado istimewa. Yakni, si bungsu Ketut Abdurrachman Masagung menyatakan diri masuk Islam, mengikuti perjalanan ayahanda tercinta.
Lantaran suara dengkur orang tidur di masjid itu makin nyaring dan saling bersahutan, doa yang kupanjatkan pun tanpa sadar terhenti. Kuberanjak dari duduk. Dan langkahku kini tertuju ke toko buku Walosongo.
Cukup lama nongkrong di sini. Kupikir, sambil isi waktu sajalah, menanti waktu ashar tiba, setelah itu baru kuputuskan berlanjut pergi ke kantor. Apa lagi badan masih terasa lelah karena kemacetan di Jakarta menjelang Idul Fitri saat itu terasa makin parah.
Kutanyakan kepada penjaga toko, kemana buku berjudul Cheng Ho. Sebab, beberapa pekan sebelumnya kulihat masih dipajang. Tetapi, kini tiada lagi?
“Itu buku lama. Sudah tak dijual lagi,” jawab pelayan tokoh buku Walisongo itu sekenanya.
Ia nampak enggan menjawab disertai sejumlah alasan. Atau ia tengah puasa bicara banyak bersamaan puasa Ramadan ini. Kuduga, pelayan tokoh ini tengah malas. Senyum pun tidak. Jangan-jangan tengah mengalami pusing kepala karena tunjanga hari raya atau THR belum diperlolehnya.
“Ah, itu kan dugaanku saja. Jangan suudzon, lah!”
Kuperbaiki hati ini yang tengah rada ngelantur. Kalimat istighfar kuucapkan dalam hati. Nafas pun ditarik dalam-dalam seperti layaknya orang tengah senam tera. Dengan harapan, pikiran dan tingkah laku dapat terjaga dan dijauhkan dari pikiran negatif.
Lalu, kuperhatikan, isi rak buku toko ini tak terlihat koleksi buku baru. Kisah-kisah inspiratif dari perjalanan ibadah haji juga tergolong sedikit. Kuambil buku yang mengangkat kisah pesan dari langit, masih terbungkus pelastik transparan. Barang kali, buku ini bisa memberi manfaat. Niat kuat untuk membeli buku ini pun timbul.
Sayang, ketika hendak menuju depan kasir, langkah kaki terhenti. Kupandangi lagi sejumlah buku yang diletakan di atas meja bundar. Buku yang kuniatkan untuk dibeli akhirnya tak jadi. Batal.
“Ah, masih itu-itu saja bukunya. Bukan buku baru lagi. Stok lama,” kataku dalam hati.
Tak sengaja, mataku tertuju kepada sebuah buku warna biru, ukuran sekitar 20 x 10 Cm. Tebal. Tapi ketika diangkat terasa ringan. Judulnya pun boleh dibilang ‘eye catching’, punya daya pikat dan punya nilai jual.
Apa lagi pengarang bukunya ikut terpampang di sampul, yaitu Ust Yusuf Mansur. Tetangga, di kawasan Ketapang, Cipondoh, Tangerang, Banten.
Judul bukunya pun rada ngepop, “Doa-Doa Kunci Cina dan Kasih Sayang”. Di sampul halaman belakang, kubaca sederet kata cinta. Semua sub judul doa yang dikaitkan dengan cinta. Ada apa dengan cinta?
Karena sudah terbungkus pelastik transparan dengan kuat, jadi sulit mengetahui isinya. Dibuka, berarti membeli. Akhirnya, untuk mengobati rasa ingin tahu isi buku yang banyak mengagungkan kata cinta itu, buku kubeli.
Usai membayar ke kasir, dalam perjalanan ke kantor muncul dugaan, jangan-jangan buku yang baru kubeli tadi cuma ‘pepesan kosong’. Biasa, itu siasat pengarang mengangkat judul dengan kata-kata cinta dan kasih sayang dalam sampul depan. Maksudnya, agar orang tertarik dan segera membeli.
Penulis tak punya kompetensi membahas tentang doa yang disuguhkan Ustadz Yusuf Mansur. Dari sederet doa yang dikupas, termasuk manfaat dan faedahnya pada buku tersebut akan mendorong seseorang makin yakin bahwa doa telah menjadi kebutuhan bagi setiap manusia. Doa adalah kekuatan terdahsyat bagi siapa pun yang meyakini, tak pandang siapa beragama apa, siapa yang berdoa dan untuk apa berdoa.
Esensi doa adalah sebuah ibadah, meminta pertolongan atau bantuan Allah SWT baik ketika tengah menghadapi musibah, dalam keadaan sehat dan sakit. Manusia pada dasarnya lemah, harus berdoa meminta atau bersyukur atas berkat rahmat yang maha kuasa. Tujuannya, agar diberi kekuatan iman dan takwa, dan tetap bisa melakukan segala perintah-Nya.
Buku setebal 504 halaman ini memang bisa menjadi obat mujarab bagi para pencari cinta. Bukan hanya cinta Tanah Air, cinta antarsesama dengan segala persoalan pun disinggungnya. Memang bukan berarti lantas ‘ces pleng’. Berdoa mudah dikabul Yang Maha Kuasa, berdoa dalam keadaan hati sempit juga disinggung.
Yang menarik, dari rentetan beragam doa itu, Yusuf Mansur menuangkan beberapa doa terlarang. Kata terlarang dalam buku ini bukan dimaknai sebagai tidak boleh, tidak diperkenankan (Kamus Besar Bahasa Indonesia),
Kata terlarang mengisyaratkan kepada kita bahwa doa ini tidak boleh untuk meminta sembarangan, karena pasti dikabulkan. Namun hanya untuk meminta kepada Allah hal-hal yang baik dan benar yang diridhai-Nya.
Hal ini penting ditegaskan karena untuk menghindari salah tafsir tentang doa terlarang itu. Tentu saja, doa layaknya untuk membawa kebaikan baik bagi diri sendiri atau pun orang banyak. Karena pembahasan sejumlah doa disampaikan dengan bahasa yang sangat sederhana, jauh dari kesan nyelimet, kadang kuat kesan ke-Betawiannya, maka bagi yang membacanya akan terus, terus dan terus terdorong untuk membaca dan menhayatinya.
Dengan sebutan lain, bisa kepincut membaca buku ini. Semoga saja doa anda pun dapat dikabulkan. Dan bagi pengarang buku ini pun dimudahkan dalam mengatasi problem yang tengah dihadapi. Amin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI