Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Haji Peong

15 September 2016   22:12 Diperbarui: 16 September 2016   07:57 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Haji Sutang tengah mengawasi pembagian daging di mushola (Foto, Dokpri)

Warga Kampung Ketapang menyebutnya Haji Peong. Padahal  nama lengkapnya Haji Wijacaksana bin Haji Kabul Mujarab. Awal sebutan menjadi Haji Peong tidak diketahui pasti, namun para pemuda di sekitar kediamannya lebih suka menyebut demikian. Haji Wijacaksana pun tidak protes. Malah ia lebih suka karena dengan sebutan itu mudah diingat orang banyak dan makin beken saja.

Padahal, jika ditelisik, kata peong bermakna orang singit. Sedikit rada miring lantaran otaknya kadang waras satu saat dan pada waktu lain pikirannya tak lurus. Orang yang berwatak demikian seperti layangan. Penyebabnya, kerangka layangan dibuat tak sempurna atau tak seimbang, maka ketika berada di udara selalu saja tak dapat tenang. Pemain layangan harus pandai mengendalikan, terutama tatkala angin kencang menerpa.

Watak Haji Peong kira-kira demikian.

Pada pasca Shalat Idul Adha, Haji Peong tampil sebagai algojo penyembelih lembu atau sapi dan sejumlah hewan kurban lainnya. Golok bersarung di tangan kanannya. Mengenakan celana ngantung hitam, kaos oblong putih, dilengkapi cincin warna hitam segede kelereng, ia berjalan wara-wiri. Tampilannya makin menarik perhatian orang karena ia juga mengenakan kain sarung dililitkan di leher dengan ikat pinggang lebar, ia menilai dirinya seolah tampil penuh wibawa.

Tak berapa lama, ia pun menghampiri pengurus Mushala, Haji  Sutang. Lama kedua haji itu bicara akrab. Kadang saling lempar tawa sambil menyaksikan para pemuda menyiapkan ternak hewan yang akan disembelih.

Ada di antara pemuda yang menggali lobang kecil sebagai persiapan agar darah yang mengucur dari hewan kurban yang disembelih tidak berceran di tanah. Namun ada pemuda yang membawa bak besar untuk menampung darah hewan kurban.

Melihat pemuda menyiapkan bak air untuk menampung darah kurban, Haji Peong bereaksi.

Haji Peong: “Entu, bak buat ape?”

Pemuda: “Buat nampung darah, bang aji”.

Haji Peong: “Lu nggak paham hukumnye hewan kurban dipotong. Eh, entong, lu kudu belajar ilmu agame ampe dalem. Motong hewan kurban nggak boleh darahnya diambil kaya’ gitu.”

Pemuda: “Kan, bisa dijadiin marus. Kaya’ daging beku, bang.”

Haji Peong: “Nggak boleh. Lu, jahuin tuh bak aer!.”

“Kan, hukumnya haram makan gituan tuh. Lu, bisa tanya ke Haji Sutang tuh,” kata Haji Peong sambil menoleh ke ketua panitia pemotongan hewan.

Haji Sutang pun manggut-manggut, tanda membenarkan bahwa apa yang disampaikan Haji Peong sudah sesuai dengan syariat Islam dalam pemotongan hewan kurban. Sementara sang pemuda pembawa bak air ngacir keluar dari kerumunan membawa bak air. Ia takut Haji Peong keburu marah jika tak dituruti kemauannya.

*****

Memotong daging kurban (Dokpri)
Memotong daging kurban (Dokpri)
Daging dibagi rata untuk didistribusikan kepada warga tak mampu (Dokpri)
Daging dibagi rata untuk didistribusikan kepada warga tak mampu (Dokpri)
Haji Peong benar-benar menunjukan sebagai orang yang “jago” memotong hewan kurban. Dibantu para pemuda setempat yang memegang kaki, kepala dan bagian tubuh lainnya, tiga ekor sapi disembelihnya dengan golok kesayangannya.

Belum lagi lima ekor kambing dengan mudah dipotong di hadapan para pengunjung dan sejumlah orang yang berkurban pada hari itu. Haji Peong terlihat sebagai pemotong hewan profesional. Dan ia pun dipuji-puji dengan kemahiran yang dimilikinya itu.

Kehebatan Haji Peong ternyata tak berbanding lurus ketika ia berada di kediamannya. Istrinya, Hajjah Fatimah, ternyata jauh lebih berwibawa daripada sang suami.

Haji Peong memang termasuk orang beruntung punya isteri Fatimah. Selain cantik, pintar juga pejabat.  Berbeda dengan dia, yang cuma tamatan sekolah lanjutan.

Tak heran, Haji Peong cuma punya kemampuan sering memarkan gonta-ganti mobil. Tapi mobil yang dikenakan bukan hasil jerih payah Haji Peong, tetapi milik isterinya yang menjabat sebagai presiden direktur di salah satu perusahaan beken di Jakarta ini.

Haji Peong oleh warga sekitar juga dikenal sebagai pembual. Banyak omong. Tetapi tak satu pun warga berani kepadanya. Apa lagi menimpali celotehnya. Sebab, Haji Peong cepat naik pitam. Lekas marah jika merasa tersinggung.

*****

Sampai tulang pun dibagikan ke warga kurang mampu (Dokpri)
Sampai tulang pun dibagikan ke warga kurang mampu (Dokpri)
Ketika Haji Peong sesampai di rumah membawa kepala kambing, sebagai hadiah motong hewan kurban, Fatimah protes.

Fatimah: “Kok, kelapa kambing dibawa ke rumah. Buat ape bang?”

Haji Peong: “Buat gule, kan enak, mak!”

Fatimah: “Kambing dari mane, bang?”

Haji Peong: “Kurban.”

Fatimah: “Abang kurban. Kok nggak bilang?”

Haji Peong: “Aye cuma motong aje.”

Mendengar jawaban suaminya cuma memotong ternak hewan dan pulang membawa kepala kambing, Fatimah marah. Menurutnya, seharusnya Haji Peong berkurban. Bukan cuma motong hewan kurban.

Haji Peong terdiam seribu bahasa ketika isterinya nyerocos ngomel. Di akhir celoteh itu, Fatimah minta agar Haji Peong mengembalikan kepala kambing hewan kurban ke panitia kurban.

Fatimah: “Itu, kepala kambing kembalikan. Biar orang yang berhak menerima. Bukan kite ini. Besok, mumpung masih ada waktu, ane mau kurban.”

Haji Peong: “Iye, mak!”

Tak lama, Haji Peong pun ngeloyor keluar rumah sambil membawa keresek plastik berisi kepala kambing. Ia tampil seperti ayam keok, jalan terbungkuk-bungkuk, seperti ayam jantan kalah dalam arena sabung ayam.

Mumpung isterinya masih bisa diredam marahnya, pikir dia, lebih baik cepat-cepat dibawa keluar kepala kambing itu. “Kalo masih ngeliat kepala kambing ini, pasti ngomel terus. Kaya petasan kali, ya?” tanya Haji Peong dalam diri sendiri.

Dalam perjalanan ke tempat panitia kurban, Haji Peong berfikir bahwa dirinya seperti layangan singit ketika isterinya marah. Ia pun sadar, orang kaya itu harusnya berkurban. Ia menyaksikan, pengurus mushola dan beberapa orang panitia ikut berkurban. Lantas, apa yang dikurbankan pada Idul Adha ini dari si Peong yang sudah menyandang predikat haji itu.

Apa lagi orang kampung sudah tahu, Haji Peong tergolong orang berkemampuan dari sisi finansial. Terlebih, banyak orang melihat, dia sering gonta-ganti mobil isterinya. Pembicaraannya pun tak lepas setiap hari membicarakan kebolehan tentang mesin mobil yang serba “wah”.

Dalam hati, Haji Peong pun membenarkan ucapan isterinya, Hajjah Fatimah yang dicintainya itu. Dia harus memotong hewan kurban sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim As.

“Gue ini berani motong hewan. Jagowan motong hewan. Tetapi juga harus berani berkurban,” katanya sambil menguatkan pendapat isterinya.

Tapi, untuk biaya membeli hewan kurban, Haji Peong harus merendah di hadapan isterinya. Bila perlu berjalan ngesot, minta maaf kepada isteri tercintanya.

Sebab, siapa lagi yang memberi uang kalau bukan isterinya itu.

Haji Peong kembali seperti layangan singit, menanti amarah isterinya reda. Setelah itu, ya minta uang darinya untuk beli hewan kurban. Ah, peong!

Maaf, bila ada kesamaan nama dan profesi dan itu hanya kebetulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun