Tak lama, Haji Peong pun ngeloyor keluar rumah sambil membawa keresek plastik berisi kepala kambing. Ia tampil seperti ayam keok, jalan terbungkuk-bungkuk, seperti ayam jantan kalah dalam arena sabung ayam.
Mumpung isterinya masih bisa diredam marahnya, pikir dia, lebih baik cepat-cepat dibawa keluar kepala kambing itu. “Kalo masih ngeliat kepala kambing ini, pasti ngomel terus. Kaya petasan kali, ya?” tanya Haji Peong dalam diri sendiri.
Dalam perjalanan ke tempat panitia kurban, Haji Peong berfikir bahwa dirinya seperti layangan singit ketika isterinya marah. Ia pun sadar, orang kaya itu harusnya berkurban. Ia menyaksikan, pengurus mushola dan beberapa orang panitia ikut berkurban. Lantas, apa yang dikurbankan pada Idul Adha ini dari si Peong yang sudah menyandang predikat haji itu.
Apa lagi orang kampung sudah tahu, Haji Peong tergolong orang berkemampuan dari sisi finansial. Terlebih, banyak orang melihat, dia sering gonta-ganti mobil isterinya. Pembicaraannya pun tak lepas setiap hari membicarakan kebolehan tentang mesin mobil yang serba “wah”.
Dalam hati, Haji Peong pun membenarkan ucapan isterinya, Hajjah Fatimah yang dicintainya itu. Dia harus memotong hewan kurban sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim As.
“Gue ini berani motong hewan. Jagowan motong hewan. Tetapi juga harus berani berkurban,” katanya sambil menguatkan pendapat isterinya.
Tapi, untuk biaya membeli hewan kurban, Haji Peong harus merendah di hadapan isterinya. Bila perlu berjalan ngesot, minta maaf kepada isteri tercintanya.
Sebab, siapa lagi yang memberi uang kalau bukan isterinya itu.
Haji Peong kembali seperti layangan singit, menanti amarah isterinya reda. Setelah itu, ya minta uang darinya untuk beli hewan kurban. Ah, peong!
Maaf, bila ada kesamaan nama dan profesi dan itu hanya kebetulan.