Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Tanah Pusaka dengan Toleransi

18 Agustus 2016   12:44 Diperbarui: 18 Agustus 2016   19:45 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyemangati repoter muda agar tetap kritis bukanlah hal baru yang dilakoni suhu Parni Hadi dalam jagat jurnalistik. Namun sekali ini ia menyampaikannya agak berbeda. Perbedaan itu terletak pada penekanan ceramahnya. Pada ceramah jurnalistik sebelumnya dia banyak berkisah tentang pentingnya profesionalisme, namun sekali ini dikaitkan dengan heroik (kepahlawanan) atau patriotisme.

Maklum, hal itu bertepatan dengan menyambut HUT RI ke-71.  Ia pun menyampaikan materi penuh semangat meski pertanyaan perlindungan hak wartawan dalam menjalankan profesinya tidak dijawab dengan tuntas karena keterbatasan waktu.

Di hadapan reporter muda, mantan pimpinan umum kantor berita Antara itu, menyinggung tentang sejarah Kemerdekaan RI. Dengan semangat nsionalisme  yang tetap melekat pada dirinya, wartawan senior ini menyebut tentang makna tumpah darah di atas Tanah Pusaka.

Kata tumpah darah itu masuk dalam bait pembuka lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lagu tersebut diperkenalkan pertama kali oleh komponis Wage Rudolf (WR) Supratman dengan permainan biola pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928.

Sebagai diketahui, Kongres Pemuda itu melahirkan pernyataan sikap yang kemudian dikenal sebagi Sumpah Pemuda. Berdasarkan bukti kuat yang ada, Sumpah Pemuda diilhami atau kuat dipengaruhi oleh puisi karya Muhammad Yamin, sastrawan, budayawan dan politisi kelahiran Minangkabau, Sumatera Barat.

Parni pun menulis bahwa ungkapan tanah air dan tanah tumpah darah disebut beberapa kali dalam puisi karya Yamin antara tahun 1920 sampai dengan 1928. Kedua ungkapan ditulis langsung berurutan: tanah air, tanah tumpah darah.

Memang ungkapan tanah tumpah darahku mengesankan lebih kuat. Lebih sakral. Darah adalah unsur penting bagi kehidupan manusia. Karena itu, muncul istilah penyakit kekurangan darah, darahnya kental, gampang membeku, darahnya terlalu encer, kalau terluka darahnya mengucur terus, tak mudah berhenti. Yang jelas, manusia dan hewan akan mati kalau kehabisan darah.

Dulu ada sumpah dengan cap jempol darah untuk mendukung Ibu Megawati menjadi Presiden RI. Artinya, para pendukung rela mati, kalau Ibu Mega tidak menjadi orang nomer satu negeri ini. Dulu, pada awal kemerdekaan RI, dalam catatan sejarah, ada ungkapan "merdeka atau mati". Rakyat negeri  ini rela mati untuk mendapatkan merdeka. Dan, itu terwujud yang kemudian ungkapannya menjadi yel-yel atau slogan; "merdeka".

Karena ungkapan tanah tumpah darah itu, para reporter muda diingatkan akan sejarah negeri ini bahwa beberapa kali negeri ini berlumuran darah. Bermula dari kisah Ken Arok, raja Singosari, yang terkena kutukan keris Empu Gandring, hingga sejumlah raja keturunannya mati akibat keris yang sama. Lalu, perang untuk mempertahankan Kemerdekaan, yang antara lain melahirkan Hari Pahlawan 10 November, untuk mengenang para pahlawan pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Menyusul kemudian, perang saudara, yakni pemberontakan PKI Madiun 1948, pemberontakan DI/TII, PRRI, Permesta dan G30 S/PKI, 1965. Serentetan pemberontakan itu dan aksi penumpasannya banyak menumpahkan darah anak bangsa ini.

Lantas, apa relevansinya semua itu dengan kondisi yang ada ada di negeri ini dewasa ini?

Harus disadari bahwa pertumpahan darah masih saja terjadi, sebagai akibat dari berbagai kasus. Bahkan menjadi sia-sia bagi anak bangsa di negeri ini, dengan latar belakang konflik sosial, konflik antaretnis dan pertumpahan darah akibat intoleransi. Kasus kekerasan atas nama agama pun dan ingin menang sendiri dalam melaksanakan ajaran agama, yang menjadi haknya, kerap dilanggar dan berujung pada pertumpahan darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun