Ini kisahku ketika bermukim di Pontianak beberapa tahun silam. Tatkala bertugas di kota hantu tersebut, konflik antaretnis di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), antara 1995 – 2002, tengah hangat-hangatnya. Namun dibalik peristiwa pahit itu, ada aroma keindahan dan sulit dilupakan. Yaitu, musik Tanjidor.
Setiap musim libur sekolah, putri dan puteraku Indah Kirana dan adiknya Andri Ganesa  kerap merengek-rengek minta diajak ke kota Sambas. Terutama Indah, yang saat itu masih gadis dan kini telah bermukim di Batam sebagai dokter Puskesmas.
Gadis kelahiran Betawi ini rindu kampung halaman lantaran di kota itu, dari segi kultur, memiliki beberapa kesamaan. Antara lain soal kesenian tanjidor dan logat bahasa daerah. Belum lagi cara berpakaian warga setempat di daerah pedalamannya, penuh dengan nilai-nilai relegius.
Jadi, sangat masuk akal gadis ini meminta diajak berlibur ke kota bekas konflik antaretnis tersebut. Pasalnya, ia ingin menghilangkan rasa rindu akan kampung halamannya, di bilangan Ceger, Cipayung, Jakarta Timur.
Untuk mencapai Kota Sambas, Ibukota Kabupaten Sambas, butuh waktu 5 jam perjalanan menempuh jarak sekitar 175 km. Dalam perjalanan Pontianak - Sambas, terlewati beberapa kota bernuansa etnis Cina, seperti Desa Sungai Duri, Kota Mempawah, Singkawang, dan Pemangkat.
Ornamen merah dan kelenteng mendominasi di banyak lokasi. Belum lagi kawasan Pasir Panjang, punya pantai indah dan sangat bagus jika lokasi tersebut dijadikan resort.
Jika dilihat secara fisik, sepintas kota Sambas yang berada di ujung utara Kalbar dan berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia, secara logika tak mungkin punya kedekatan dengan budaya Betawi. Namun ketika menyaksikan dari dekat, mulai cara berpakaian (kebaya), kain tenun songket, cara berkerudung dan bahasa daerah yang digunakan punya kesamaan dengan Warga Betawi.
Apa lagi di daerah ini berdiri kraton, sisa peninggalan masa silam. Bangunan keraton menghadap ke arah barat ke arah Sungai Sambas. Ke arah utara dari dermaga terdapat Sungau Sambas Kecil, dan ke arah selatan terdapat Sungai Teberau. Di sekeliling tanah keraton merupakan daerah rawa-rawa dan mengelompok di beberapa tempat terdapat makam keluarga sultan.
Bangunan keraton lama dibangun oleh Sultan Bima pada 1632 (sekarang telah dihancurkan), sedangkan keraton yang kini berdiri dibangun pada 1933. Sebagai sebuah keraton di tepian sungai, tentu sarana transportasinya perahu atau kapal ikut menentukan perjalanan perkembangan budaya setempat.
Dermaga yang terletak di depan keraton dikenal dengan nama Jembatan Seteher. Jembatan ini menjorok ke tengah sungai. Dari dermaga ini ada jalan yang menuju keraton dan melewati gerbang di daerah pertemuan Sungai Sambas dan Sambas Kecil terdapat sebuah keraton yang seluruh dindingnya dibuat dari kayu.
Bahasa daerah yang digunakan kental dengan logat akhiran "e" seperti mau kemane, di Sambas juga dipakai mau kemane. Akhiran "e" dibaca seperti orang membaca atau menyebut ember. Demikian halnya dengan kesenian tanjidor, yang diklaim Warga Betawi sebagai bentuk kesenian yang berkembang dan lahir saat zaman kolonial itu.
Indah, Anak ku yang dulu duduk sebagai murid kelas V SD Assyafiiyah, Jatiwaringin, dan kemudian pindah ke Pontianak sejak 1995 itu, mengaku sangat mengagumi musik tanjidor. Selama delapan tahun tinggal di Pontianak ia selalu mengunjungi Kraton Sambas untuk menonton kesenian tanjdor tanpa rasa bosan.
"Musiknya enak di dengar. Pemainnya mengenakan atribut seperti layaknya pemain sofbol, cheerleaders, penuh warna warni," katanya sambil mengenang.
Tanjidor yang olah Orang Betawi dianggap sebagai bentuk kesenian aslinya, cukup terkenal di Kalbar. Kesenian yang sudah dimulai sejak abad ke-18 ini merupakan penggabungan alat-alat musik tiup seperti piston (cornet a piston), trombon, tenor, klarinet, bas serta alat-alat musik gesek seperti biola dan tehyan.Â
Alat-alat musik perkusi seperti tambur atau gendering, rebana, bedug, kecrek, kempul dan gong ikut dimainkan. Umumnya yang biasa memainkan tanjidor ini adalah kaum laki-laki. Biasa dimainkan pada saat acara perkawinan, pawai daerah, bahkan pada acara-acara budaya di Kalimantan Barat.
Musik yang dimainkan kental sekali pengaruh Barat, Tionghoa, Arab, Melayu, Sunda. Kesenian tanjidor ini semakin jarang terlihat. Sebaiknya dilestarikan, ungkap pengamat budaya Kalbar, Drs. Satarudin Ramli.
Namun jika dibandingkan dengan Kota Betawi sendiri, kesenian tanjidor lebih langka dimainkan dibanding dengan daerah Kalbar. Â Lagu-lagu yang biasa dibawakan para pemain tanjidor di berbagai kabupaten di Kalbar, menurut istilah setempat adalah batalion, kramton, bananas, delsi, was tak-tak, cakranegara, dan welmes.
Di masa penjajahan Belanda, tanjidor biasa dimainkan dan dipertotonkan pada saat acara-acara hiburan rakyat. Seperti juga halnya di ibukota Jakarta, tanjidor juga sering dipertontonkan pada peringatan HUT Kemerdekaan RI dan beberapa acara pemerintahan. Â
Dibandingkan dengan jenis kesenian Betawi lainnya seperti musik rebana, kasidahan, lenong, tari topeng Betawi dan sejenisnya, tanjidor agak ketingalan. Penyebabnya, kata orang Betawi:
Anak cucu keturunan Betawi kaga’ pada mau ngopenin tanjidor. Maunya pada ngedangdut melulu. Ntu salah satunye yang bikin Tanjidor kagak mau cepat bekembang.
Kemungkinan juga karena jaman udah banyak berubah. Beginilah jadinye. Di kampung saye dulu, ada perkumpulan orkes tanjidor, Lenong dan Ondel-Ondel Bang Rebo, di Gang Piin Kramat Pulo. Tapi sekarang mah dangdut aje yang digede-gedein".
Sesungguhnya musik tanjidor sudah lama dikenal warga dari berbagai etnis lain di Indonesia seperti di Pulau Baranglompo, Makassar, dan Sulawesi Selatan. Kesenian itu biasa tampil untuk memeriahkan pesta pernikahan.
Di Sumatera Selatan kesenian tanjidor juga dikenal. Jenis kesenian itu merupakan salah satu kekayaan budaya Sumatera Selatan (Sumsel). Kendati nasib kesenian itu hampir sama dengan di Jakarta, namun cukup dikenal. Kesenian jidor yang di kenal masyarakat Sumsel memang harus berjuang melawan pertunjukan musik modern.
Di Sumsel, musik tanjidor atau jidor juga sering disebut musik brass atau musik blas. Alat-alat musik yang digunakan relatif sama seperti yang digunakan pemusik tanjidor di Jakarta, antara lain terompet, trombon, simbal, klarinet, saksofon, drum, dan lain-lain.
Bunyi alat musik yang digunakan dalam tanjidor sangat unik. Alat-alat itu menimbulkan bunyi dengan nada tinggi yang menggelitik kuping karena iramanya dinamis. Bagi warga kota yang sering menderngar musik pop dan lainnya, sepintas musik tanjidor terkesan norak tetapi nyatanya sangat menghibur.
Dalam tanjidor ala Betawi, lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan bernuansa lagu Sunda atau Betawi seperti jali-jali dan kicir-kicir. Sedangkan di Sumsel, selain lagu-lagu Melayu, lebih sering terdengar lagu pop atau dangdut modern.
Para pemain tanjidor rata-rata sudah berumur, yakni 40 tahun ke atas. Hal ini juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Anak muda yang memainkan musik tanjidor semakin langka. Berbagai acara yang ditujukan untuk kaum muda selalu menampilkan band, cheerleaders, dan modern dance, tetapi tak pernah lagi menyugukan tanjidor.
Musik tanjidor tak sesuai selera anak muda yang lebih menyukai pertunjukan musik modern. Namun musik ini masih tetap punya penggemar, setidaknya bagi anak-anaku Indah Kirana dan Andri Ganesa, bocah-bocah yang kini sudah dewasa dan kerap menolak jika dipanggil Indun dan Gajah.
Oleh Edy Supriatna Sjafei
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H