Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sambas dan Kedekatanya dengan Musik Khas Betawi, Tanjidor

14 Juli 2016   10:15 Diperbarui: 15 Juli 2016   04:10 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanjidor dari Betawi (www.betawitoday.com)

Kemungkinan juga karena jaman udah banyak berubah. Beginilah jadinye. Di kampung saye dulu, ada perkumpulan orkes tanjidor, Lenong dan Ondel-Ondel Bang Rebo, di Gang Piin Kramat Pulo. Tapi sekarang mah dangdut aje yang digede-gedein".

Sesungguhnya musik tanjidor sudah lama dikenal warga dari berbagai etnis lain di Indonesia seperti di Pulau Baranglompo, Makassar, dan Sulawesi Selatan. Kesenian itu biasa tampil untuk memeriahkan pesta pernikahan.

Di Sumatera Selatan kesenian tanjidor juga dikenal. Jenis kesenian itu merupakan salah satu kekayaan budaya Sumatera Selatan (Sumsel). Kendati nasib kesenian itu hampir sama dengan di Jakarta, namun cukup dikenal. Kesenian jidor yang di kenal masyarakat Sumsel memang harus berjuang melawan pertunjukan musik modern.

Di Sumsel, musik tanjidor atau jidor juga sering disebut musik brass atau musik blas. Alat-alat musik yang digunakan relatif sama seperti yang digunakan pemusik tanjidor di Jakarta, antara lain terompet, trombon, simbal, klarinet, saksofon, drum, dan lain-lain.

Bunyi alat musik yang digunakan dalam tanjidor sangat unik. Alat-alat itu menimbulkan bunyi dengan nada tinggi yang menggelitik kuping karena iramanya dinamis. Bagi warga kota yang sering menderngar musik pop dan lainnya, sepintas musik tanjidor terkesan norak tetapi nyatanya sangat menghibur.

Dalam tanjidor ala Betawi, lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan bernuansa lagu Sunda atau Betawi seperti jali-jali dan kicir-kicir. Sedangkan di Sumsel, selain lagu-lagu Melayu, lebih sering terdengar lagu pop atau dangdut modern.

Para pemain tanjidor rata-rata sudah berumur, yakni 40 tahun ke atas. Hal ini juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Anak muda yang memainkan musik tanjidor semakin langka. Berbagai acara yang ditujukan untuk kaum muda selalu menampilkan band, cheerleaders, dan modern dance, tetapi tak pernah lagi menyugukan tanjidor.

Musik tanjidor tak sesuai selera anak muda yang lebih menyukai pertunjukan musik modern. Namun musik ini masih tetap punya penggemar, setidaknya bagi anak-anaku Indah Kirana dan Andri Ganesa, bocah-bocah yang kini sudah dewasa dan kerap menolak jika dipanggil Indun dan Gajah.

Oleh Edy Supriatna Sjafei

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun