Basecamp itu persis berdekatan dengan mushalla. Hanya dipisahkan pagar kawat, sehingga seluruh aktivitas para pemulung di halaman mushalla tersebut dapat terlihat jelas oleh para relawan yang tengah mengajar anak para pemulung.
Meski lokasi itu bau, orang bule nampaknya merasa terpikat. Kadang mereka naik ke bukit sampah, melihat keindahan di sekitarnya sambil mengambil foto atau memotretnya. Tak luput, anak-anak sekolah yang kumel dan berjalan tanpa alas kaki jadi sasaran pengambilan objek foto. Nampaknya, di sini kemiskinan jadi sasaran objek wisata.
Padahal, wilayah perbukitan sampah dengan luas ratusan hektare itu, hanya terlihat kampung kumuh dengan ratusan rumah terbuat dari tripek bekas, atap papan bekas, plastik dan gedek/bilik.
Dari kejauhan terlihat berwarna-warni dengan sesekali diselimuti debu pekat dari jalan beton karena sepeda motor dan truk sampah melintas.
Para bule itu datang bukan sekadar melihat, tetapi memberi sesuatu, mengajar dan memberi wawasan bersama relawan lokal lainnya, yang dianggapnya bermanfaat bagi anak-anak pemulung agar di kemudian hari nasibnya tidak seburuk orang tuanya.
TPST Bantar Gebang berada di tiga kelurahan: Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumur Batu. Kelurahan itu masuk wilayah Kecamatan Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. TPST itu mulai beroperasi Agustus 1989 dengan lahan seluas 110 hektare.
Dari lahan seluas itu, 81,91 persen digunakan sebagai pengelolaan sampah, lainnya untuk prasarana seperti jalan masuk, kantor, dan instalasi pengolahan lindi (air sampah). Di atas lahan itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun incinerator atau tempat pembakaran sampah untuk pengolahan sampah. Maksudnya, agar Jakarta tidak lagi membuang sampah ke wilayah lain seperti TPST Bantar Gebang, Bekasi. Namun hingga kini, realisasinya belum dirasakan dapat mengurangi gunungan sampah di kawasan itu.
Di kawasan tersebut bermukim warga dari berbagai etnis. Di antaranya berasal dari Karawang, Indramayu, Banten, Sumatera Selatan dan paling banyak suku Madura. Diperkirakan ada 3 ribu kepala keluarga (KK) dan 156 di antaranya berasal dari sekitar Sumur Batu, Bekasi.
Terkait Ramadhan, warga Muslim Bantar Gebang akan memanfaatkan mushalla yang hingga kini terlihat terbengkalai. "Biar tak cantik, mushalla tetap digunakan," kata Resa, relawan dari Sanggar Satu Untuk Bersama yang aktif di lokasi itu sejak 1995.
Hanya saja, kata Erna, pemulung beranak tiga, warga di kampung Bukit Sampah Bantar Gebang sangat berharap adanya bantuan sembako. Kalau dahulu, menjelang Ramadhan, ada saja warga memberi bantuan. Tapi, untuk sekali ini, bantuan tidak terlihat. Biasanya ada saja warga dari Jakarta memberi sembako dan lainnya untuk keperluan puasa.