Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Taat Asas Gunakan Istilah Keagamaan, Peran Kemenag Apa?

27 Mei 2016   22:57 Diperbarui: 27 Mei 2016   23:14 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sidang Isbat Awal Ramadlan DilakukanTertutup. Demikian judul berita dari Portal Kementerian Agama (Kemenag) yang disiarkan pada Jumat, 27 Mei 2016, 16:47. Sepintas, orang banyak paham bahwa judul tersebut menginformasikan tentang sidang isbat (penetapan) awal Ramadan.

Sidang isbat merupakan forum para ulama dari organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam untuk mengambil keputusan awal puasa atau Ramadan. Sidang ini dipimpin Menteri Agama, yang keputusannya bisa sama untuk bersepakat. Atau, bisa jadi, dalam penetapan itu tidak bersepakat - ada perbedaan - dalam penetapan awal puasa namun tetap saling menghormati

Namun jika dicermati dalam penggunaan istilah keagamaan, penulisan penyebutan "Ramadlan", bagi kalangan pelajar, santri dan ulama, akan bertanya-tanya, apakah memang sudah ada perubahan menuliskan Ramadan disisipi hurup "l" di belakang huruf "d". Atau Kemenag tengah mensosialisasikan, memperkenalkan penyebutan Ramadan atau bulan puasa itu ditambahi huruf "l".

Inkonsistensi atau ketidaktaatan dalam penggunaan istilah, dalam berita yang sama, makin terlihat jelas. Pada alinea terakhir penyebutan Ramadan disisipi huruf "h", Ramadhan.

Penulisan Ramadan, tahun-tahun sebelumnya memang masih diselipi huruf "h". Setelah terbit Kamus Istilah Keagamaan (KIK), penulisannya diubah atau dihilangkan huruf "h" di belakang huruf "d". Dengan demikian menjadi Ramadan.

Istiqomah harusnya menurut KIK ditulis istikamah, yang artinya sikap teguh dalam pendirian dan senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus sebagaimana digariskan oleh agama. Penulisan ini terlihat pada berita yang diturunkan pada Jumat, 27 Mei 2016, jam 16:16, dengan judul MAN 3 Malang Nomor Empat Peraih Medali Terbanyak OSN 2016.

Penulisan kota Makkah, seharusnya jika mengikuti KIK ditulis Mekah, kota suci (tanah haram) pertama bagi umat Islam di Saudi Arabia. Kota itulah terdapat Kakbah (bukan ditulis Ka'bah) di Masjidilharam sebagai kiblat umat Islam yang melaksanakan salat. Ke kota itulah bagi semua umat Islam yang melaksanakan ibadah haji dan umrah. Ketidaktaatan penggunaan sebutan tersebut dapat dilihat pada berita hari Jumat (27/5/2016) jam 15:29 dengan judul Persiapan Haji Indonesia di Saudi Sudah 95%.

Penulisan infaq, shadaqoh harusnya diubah menjadi infak, sedekah. Lihat berita pada Kamis, 26 Mei 2016, 19:20, judul Untuk Capai Target Zakat 5 Triliun, Perlu Sinergi Antar Lembaga.

Taat asas atau tidak berubah dari ketentuan yang sudah ditentukan sangat penting dalam penggunaan istilah keagamaan, khususnya di media online. Lebih-lebih pada Portal Kementerian Agama yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi media massa.

Temuan tidak taat asas dalam penggunaan istilah keagamaan seperti diicontohkan itu, diperoleh dari berita selama sepekan terakhir. Bisa jadi, pada beberapa bulan sebelumnya banyak dijumpai jika diteliti lebih dalam. Padahal, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama sudah lama menerbitkan Kamus Istilah Keagamaan atau yang kini dikenal KIK.

Dalam KIK, istilah keagamaan Islam mengambil porsi halaman lebih banyak disusul Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Butuh waktu panjang, sekitar tujuh tahun untuk menyusun dan menyelesaikan KIK itu.

Terbitnya KIK harus diakui merupakan salah satu bentuk apresiasi jajaran Kementerian Agama terhadap keragaman bangsa.

Harapannya, dengan pemahaman akan persamaan dan perbedaan “konsep” atau terminologi pada masing-masing agama ini, dapat mengeliminasi atau menghindari terjadinya kesalah-pahaman antarajaran oleh pemeluk agama yang berbeda.

KIK, yang disusun bersama pengurus majelis-majelis agama dan pakar bahasa itu, memiliki sekitar 9314 istilah. Diharapkan dapat mencerdaskan masyarakat Indonesia dari istilah keagamaan yang ada. 

KIK juga diharapkan dapat dijadikan sebagai media komunikasi umat beragama untuk menghindarkan perselisihan yang bersumber dari perbedaan pemahaman terhadap konsep ajaran agama.

Sayogyanya KIK dapat difungsikan sebagai buku rujukan dalam penulisan buku. Baik buku pelajaran pada lembaga-lembaga pendidikan maupun buku bacaan umum. Termasuk penulisan berita bagi Kementerian Agama yang harus menjadi contoh bagi media massa dan lembaga lainnya.

KIK diluncurkan pada awal Desember 2015 oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Tentu saja, muara dari tujuan penerbitan KIK adalah meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama untuk mewujudkan warga Indonesia yang taat beragama, rukun dan cerdas, mandiri dan sejahtera lahir batin.

Apakah Kementerian Agama mau taat asas dalam menggunakan istilah keagamaan. Perlu diingat, KIK adalah salah satu produk dari kementerian itu juga, yang disusun susah payah, waktu lama dan tentu memakan biaya besar. Apakah mau mengikuti aturan yang dibuat sendiri? Mau berubah ? Sepenuhnya terpulang kepada para pengambil keputusan di kementerian itu. Kita nantikan saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun