Terbitnya KIK harus diakui merupakan salah satu bentuk apresiasi jajaran Kementerian Agama terhadap keragaman bangsa.
Harapannya, dengan pemahaman akan persamaan dan perbedaan “konsep” atau terminologi pada masing-masing agama ini, dapat mengeliminasi atau menghindari terjadinya kesalah-pahaman antarajaran oleh pemeluk agama yang berbeda.
KIK, yang disusun bersama pengurus majelis-majelis agama dan pakar bahasa itu, memiliki sekitar 9314 istilah. Diharapkan dapat mencerdaskan masyarakat Indonesia dari istilah keagamaan yang ada.
KIK juga diharapkan dapat dijadikan sebagai media komunikasi umat beragama untuk menghindarkan perselisihan yang bersumber dari perbedaan pemahaman terhadap konsep ajaran agama.
Sayogyanya KIK dapat difungsikan sebagai buku rujukan dalam penulisan buku. Baik buku pelajaran pada lembaga-lembaga pendidikan maupun buku bacaan umum. Termasuk penulisan berita bagi Kementerian Agama yang harus menjadi contoh bagi media massa dan lembaga lainnya.
KIK diluncurkan pada awal Desember 2015 oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Tentu saja, muara dari tujuan penerbitan KIK adalah meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama untuk mewujudkan warga Indonesia yang taat beragama, rukun dan cerdas, mandiri dan sejahtera lahir batin.
Apakah Kementerian Agama mau taat asas dalam menggunakan istilah keagamaan. Perlu diingat, KIK adalah salah satu produk dari kementerian itu juga, yang disusun susah payah, waktu lama dan tentu memakan biaya besar. Apakah mau mengikuti aturan yang dibuat sendiri? Mau berubah ? Sepenuhnya terpulang kepada para pengambil keputusan di kementerian itu. Kita nantikan saja.