Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan investasi yang paling berkelanjutan, karena mereka dapat terus berkembang, berinovasi, dan memberikan nilai tambah jangka panjang bagi sebuah organisasi atau masyarakat. Dalam skala meso-organisasi, peningkatan kompetensi SDM secara signifikan dapat meningkatkan kinerja perusahaan (Ulrich, 1998).
Namun, di tengah maraknya kinerja institusi pendidikan formal, kualitas pendidikan tampaknya terabaikan. Banyak universitas berdiri megah, tetapi hasil yang diharapkan, yaitu SDM berkualitas, sering kali tidak tercapai (Edy Suhardono, Kompas 27/9/2024).
Sementara itu, perubahan cepat di dunia kerja memerlukan adaptasi kurikulum yang relevan. Banyak kurikulum yang tertinggal dan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, sehingga menghasilkan lulusan dengan kemampuan yang jauh dari harapan industri. John Hattie, pakar pendidikan dari Australia, menengarai bahwa kualitas pengajaran dan pembelajaran adalah faktor yang paling berpengaruh dalam peningkatan hasil belajar.
Mengingat situasi ini, pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat memprioritaskan kualitas pendidikan agar SDM kita benar-benar siap menghadapi tantangan global-mondial yang kian digital.
Obsesi Ranking Demi Kuantitas
Universitas kini berlomba-lomba untuk mendapatkan peringkat tinggi demi eksistensi dan kelangsungan bisnis pendidikan mereka. Namun, obsesi ini lebih mengedepankan kuantitas, yaitu jumlah mahasiswa yang diterima, ketimbang kualitas lulusan yang dihasilkan.
Perhatian yang berlebihan pada peringkat dan akreditasi sering kali mengorbankan aspek penting pendidikan, yaitu kualitas pengajaran dan kemampuan lulusan (Indonesia Satu, 2023). Hal ini berpotensi menghasilkan lulusan yang banyak, namun dengan keterampilan yang minim dan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.
Menurut Philip G. Altbach, seorang pakar pendidikan dari Boston College, fokus yang berlebihan pada ranking dapat mengalihkan perhatian dari tujuan utama pendidikan yaitu pengembangan intelektual dan keterampilan praktis mahasiswa.
Dalam artikelnya, "The emergence of a field: research and training in higher education", Altbach (2024) menyebut bahwa sistem peringkat sering kali mendistorsi prioritas pendidikan dengan mendorong universitas untuk mengejar angka-angka yang terlihat baik di atas kertas, namun tidak mencerminkan kualitas sesungguhnya. Ini menunjukkan bahwa peringkat tinggi tidak selalu berarti kualitas pendidikan yang tinggi.
Lebih lanjut, Simon Marginson, seorang profesor di University of Melbourne, mengungkapkan bahwa sistem pemeringkatan global sering kali tidak mempertimbangkan konteks lokal dan kebutuhan spesifik masyarakat.
Marginson menyoroti bahwa penekanan pada metrik internasional dapat menyebabkan universitas mengabaikan misi sosial dan pengabdian masyarakat yang seharusnya mereka emban (Marginson, 2018). Akibatnya, lulusan universitas mungkin tidak siap untuk berkontribusi secara efektif di lingkungan kerja lokal. Dari sini dipertanyakan, sejauh mana obsesi terhadap ranking ini membantu atau malah merugikan kualitas pendidikan kita.
Pabrikasi Versi UniversitasÂ
Lemahnya kesadaran akan SDM sebagai sebuah investasi jangka panjang mengakibatkan sulitnya membedakan antara universitas sebagai persemaian SDM atau pabrik SDM massal. Universitas saat ini sering kali bertransformasi menjadi "pabrik" yang memproduksi lulusan dengan mentalitas minimal. Ini terlihat dari semangat pengajaran yang lebih mengutamakan formalitas dan sistematisasi daripada pengembangan kreatif dan kritis pada mahasiswa. Seharusnya universitas bukan sekadar pabrik yang mencetak lulusan tanpa mentalitas 'lebih' (Wibisono, 2022).
Proses pendidikan yang seharusnya berorientasi pada pengembangan individu, justru terjebak dalam rutinitas pengabdian terhadap angka-angka statistik dan pencapaian administratif. Menurut Altbach, terlalu fokus pada aspek formalitas pendidikan dapat menghambat perkembangan keterampilan kritis dan inovatif pada mahasiswa (Altbach, 2014). Ini menunjukkan betapa pentingnya mereformasi sistem pendidikan untuk lebih menekankan pada kualitas daripada kuantitas.
Howard Gardner, seorang psikolog dari Harvard University, menyatakan bahwa pendidikan seharusnya berfokus pada pengembangan multiple intelligences atau kecerdasan jamak. Gardner menekankan bahwa setiap individu memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda, dan pendidikan harus mencerminkan keragaman ini agar lulusan dapat berkontribusi secara efektif dalam berbagai bidang (Gardner, 2011).
Sebagai refleksi, penulis mengangkat pemikiran Sir Ken Robinson, seorang pakar pendidikan internasional, yang mengemukakan bahwa kualitas pendidikan seharusnya diukur dari kemampuan lulusan dalam berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan, bukan hanya dari data statistik jangka pendek.
Robinson berpendapat bahwa pendidikan yang benar-benar efektif adalah yang mampu menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir kreatif dan siap belajar sepanjang hidup mereka (Robinson, 2015). Jika tidak segera beralih dari cara pandang ini, bagaimana kita bisa menciptakan generasi yang berinovasi dan beradaptasi dengan cepat dalam era perubahan ini?
Pendidikan Seumur Hidup sebagai Investasi SDM
Di tengah tantangan dunia pendidikan formal, pendidikan seumur hidup muncul sebagai solusi yang menjanjikan. Konsep ini memberi kesempatan bagi individu untuk terus belajar dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar kerja yang berubah, tanpa batasan usia atau formalitas pendidikan. Pendidikan seumur hidup menggabungkan pendidikan formal dan nonformal untuk menghadapi tuntutan yang selalu berubah, memberikan ruang bagi individu untuk memperbarui keterampilan dan pengetahuan mereka melalui berbagai pengalaman, pelatihan, kursus online, dan pembelajaran mandiri.
Proses pembelajaran yang berkelanjutan ini memungkinkan individu untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan di dunia kerja. Pendidikan seumur hidup mendorong pengembangan individu secara menyeluruh, dengan memfasilitasi peningkatan keterampilan dan pengetahuan sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan seumur hidup menjadi proses yang abadi, yang terus memperbarui dan meningkatkan kemampuan individu. John Field, dalam "Lifelong Learning and the New Educational Order", menjelaskan bahwa pendidikan seumur hidup memfasilitasi adaptasi cepat terhadap perubahan di dunia kerja (Field, 2006).
Selain itu, pendidikan seumur hidup juga menawarkan solusi untuk mengatasi kesenjangan keterampilan tenaga kerja. Pendidikan formal sering kali tidak cukup untuk mempersiapkan individu menghadapi tantangan masa depan yang kompleks dan dinamis. Dengan adanya pendidikan seumur hidup, individu dapat terus belajar dan beradaptasi dengan cepat terhadap kebutuhan pasar yang selalu berubah, menciptakan sumber daya manusia yang lebih kompetitif dan adaptif. John Dewey menyatakan pentingnya pendidikan seumur hidup dalam mengatasi kesenjangan keterampilan. Dalam bukunya "Experience and Education", ia menyoroti bahwa pendidikan formal sering kali tidak cukup untuk mempersiapkan individu menghadapi tantangan masa depan yang kompleks (Dewey, 1938).
Sebagai investasi SDM, pendidikan seumur hidup memberikan keuntungan jangka panjang yang signifikan. Pembelajaran seumur hidup harus didukung oleh komunitas yang mendorong kolaborasi dan pembelajaran bersama. Etienne Wenger, dalam bukunya "Communities of Practice: Learning, Meaning, and Identity", berpendapat bahwa pembelajaran seumur hidup harus didukung oleh komunitas yang mendorong kolaborasi (Wenger, 1998). Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa mengintegrasikan pendidikan seumur hidup ke dalam sistem pendidikan formal kita dan apakah masyarakat siap mendukung implementasi konsep ini secara luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H