Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salah Kaprah antara "Self-love" dan Narcis

24 Desember 2024   11:18 Diperbarui: 24 Desember 2024   11:32 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Swafoto di depan cermin  (Sumber: Freepik/Koleksi Edy Suhardono)

Dedy dan pacarnya, Nancy, sering bertengkar karena waktu yang dihabiskan Nancy untuk berdandan dan berswafoto. Dedy merasa Nancy egois dan narsis karena selalu membuatnya menunggu lebih dari satu jam setiap kali mereka mau pergi. Nancy suka mengunggah foto-fotonya di Instagram, yang membuat Dedy semakin tidak sabar.

Sebaliknya, Nancy menuduh Dedy tidak sabaran, egois, dan tidak memahami perempuan. Menurut Nancy, Dedy dibesarkan dalam keluarga yang tidak menghargai privasi, sehingga terburu-buru menjadi kebiasaan yang sulit diubah.

Perdebatan ini mencerminkan salah kaprah dalam memahami konsep self-love dan narsisme. Keduanya sering kali disalahartikan dan digunakan secara bergantian, padahal memiliki makna yang berbeda. Apakah Nancy menunjukkan self-love yang sehat atau justru narsisme yang merusak?

Mari kita ulas lebih lanjut.

Siapa yang Narsis?

Dedy menganggap Nancy narsis karena sering berdandan dan berswafoto. Namun, narsisme lebih dari sekadar penampilan luar. Ini mencakup kebutuhan akan kekaguman dan pujian berlebihan, serta kurangnya empati terhadap orang lain.

Menurut teori pemantauan diri, individu dengan narsisme tinggi cenderung memanipulasi penampilan mereka untuk mendapat perhatian. Dalam hal ini, jika Nancy berdandan untuk meningkatkan harga diri dan kebahagiaan, itu lebih mendekati self-love.

Nancy, di sisi lain, mungkin melihat perilakunya sebagai bentuk self-love. Self-love adalah cinta diri yang sehat dan mencakup penerimaan diri, kepedulian terhadap kesejahteraan emosional, fisik, dan mental. Namun, jika tujuan utamanya adalah mendapatkan perhatian di media sosial, ini bisa menjadi ciri narsisme.  Maka, penting untuk memahami apakah tindakan Nancy didorong oleh kebutuhan untuk dicintai dan dihargai oleh orang lain atau sekadar menikmati proses berdandan sebagai bentuk perawatan diri.

Di sisi lain, Dedy mungkin perlu merenungkan apakah ketidaksabarannya sebenarnya mencerminkan kurangnya empati dan pemahaman terhadap kebutuhan Nancy. Menurut teori otentisitas diri, seseorang yang benar-benar memahami dan menerima pasangannya akan menunjukkan kesabaran dan dukungan, bukan hanya kritik.

Ini menunjukkan bahwa setiap perilaku memiliki spektrum yang luas dan konteks yang penting untuk dipertimbangkan sebelum melabeli seseorang sebagai narsis atau penuh self-love. Bagaimana kita bisa mengidentifikasi motivasi yang mendorong perilaku seseorang dan membedakannya antara self-love dan narsisme?

Self-love, Narsis dan Medsos

Penggunaan media sosial telah meningkatkan manifestasi self-love dan narsisme. Penelitian oleh Balakrishnan dan Griffiths (2017) menemukan bahwa narsisme berhubungan dengan frekuensi penggunaan media sosial untuk mempromosikan diri.

Di sisi lain, penelitian oleh Hogue dan Mills (2019) menunjukkan bahwa media sosial juga dapat digunakan untuk membangun self-love yang positif. Studi ini menunjukkan bahwa cara kita menggunakan media sosial dapat mencerminkan aspek sehat atau tidak sehat dari cinta diri kita.

Menurut teori penampilan diri, individu mengelola kesan yang mereka berikan kepada orang lain. Media sosial sering menjadi platform di mana orang memproyeksikan versi ideal diri mereka. Hal ini dapat menjadi sarana untuk menguatkan self-love melalui dukungan sosial dan pengakuan, namun juga dapat memperkuat narsisme jika digunakan untuk mencari validasi eksternal secara berlebihan.

Hasil studi menunjukkan bahwa narsisme sering kali terkait dengan penggunaan berlebihan platform yang memungkinkan eksposur diri yang tinggi, seperti Instagram. Sebaliknya, mereka yang menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan teman dan keluarga cenderung mengembangkan self-love yang lebih sehat.

Dalam konteks ini, penting untuk membedakan antara posting yang dilakukan sebagai bagian dari kebanggaan sehat atas pencapaian dan keterampilan, dan posting yang bertujuan untuk mendapatkan pujian dan perhatian terus-menerus.

Self-love adalah tentang mengenali dan merayakan diri sendiri tanpa perlu validasi dari orang lain. Namun, bagaimana kita bisa memastikan bahwa penggunaan media sosial kita mencerminkan self-love yang sehat dan bukan narsisme?

Self-love Yes, Narsis No

Self-love dan narsisme memiliki indikator yang jelas. Self-love mencakup penerimaan diri, batasan yang sehat, dan kesejahteraan emosional. Narsisme, di sisi lain, ditandai oleh kebutuhan akan pujian berlebihan dan kurangnya empati.

Mengembangkan self-love yang sehat penting untuk keseimbangan emosional dan hubungan yang bermakna. Menurut teori otentisitas diri, individu yang otentik menunjukkan perilaku yang konsisten dengan nilai dan kepercayaan mereka, yang merupakan aspek penting dari self-love.

Memahami dan mengidentifikasi batas antara self-love dan narsisme adalah kunci untuk membangun hubungan yang sehat dengan diri sendiri dan orang lain. Penting untuk selalu mengevaluasi motivasi di balik tindakan kita.

Self-love yang sehat memungkinkan kita untuk menetapkan batas yang jelas, menerima diri sendiri, dan menjaga kesejahteraan emosional tanpa perlu validasi eksternal. Sebaliknya, narsisme dapat mengarah pada isolasi sosial dan masalah interpersonal karena fokusnya pada diri sendiri dan kurangnya empati terhadap orang lain.

Penting bagi kita untuk mempraktikkan self-love yang berkelanjutan dan menolak narsisme yang merusak. Ini termasuk mengenali dan merayakan pencapaian kita tanpa membandingkan diri kita dengan orang lain dan tanpa memerlukan pujian terus-menerus.

Dengan demikian, kita dapat membangun hubungan yang lebih sehat dengan diri sendiri dan orang lain, serta menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan emosional dan mental. Jawabannya ada pada upaya kita memastikan bahwa kita memilih self-love yang berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi

Balakrishnan, J., & Griffiths, M. D. (2017). Social media addiction: What is the role of content in YouTube? Journal of Behavioral Addictions, 6(3), 364-377. ResearchGate. URL: https://www.researchgate.net/publication/319825722_Social_media_addiction_What_is_the_role_of_content_in_YouTube

Hogue, J. V., & Mills, J. (2019). The effects of active social media engagement with peers on body image in young women. Body Image, 28, 1-5. ScienceDirect. URL: https://www.researchgate.net/publication/330564644_The_effects_of_active_social_media_engagement_with_peers_on_body_image_in_young_women

Seidman, G. (2014). Expressing the “true self” on Facebook. Computers in Human Behavior, 31(3), 367-372. Sci-Hub. URL: https://sci-hub.st/10.1016/j.chb.2013.10.052?form=MG0AV3

Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2018). The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement. Atria Books. Google Books. URL: https://books.google.co.id/books/about/The_Narcissism_Epidemic.html?id=m3YndShMSUUC&redir_esc=y

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun