Kasus pasangan suami-istri, Budi dan Sari, menggambarkan realitas yang dihadapi banyak orang setelah kelahiran anak. Ketegangan muncul ketika Sari merasa perlu berhenti bekerja untuk mendampingi bayi mereka, sementara Budi menganggapnya sebagai pengorbanan yang terlalu besar.
Pertengkaran ini mencerminkan dilema yang sering dialami orang tua keluarga muda: apakah seorang dari mereka harus berhenti bekerja demi merawat anak?
Keputusan untuk berhenti bekerja setelah kehadiran anak memiliki landasan psikologis yang beragam. Teori attachment Bowlby (2018), misalnya, menyoroti pentingnya kehadiran salah satu orang tua dalam membentuk ikatan emosional yang kuat antara anak dan pengasuhnya (McGarvie, 2024). Keterlibatan aktif orang tua memberikan dampak positif terhadap perkembangan anak.
Namun, apakah dampak tersebut cukup signifikan sehingga salah satu orang tua, baik ibu atau ayah, harus sepenuhnya berhenti bekerja? Moreland-Russell et al. (2022) berargumen bahwa kehadiran penuh waktu di rumah malahan dapat mempengaruhi kesehatan mental orang tua karena isolasi.
Dalam konteks ini, penting untuk membahas implikasi keputusan resign bagi suami dan istri, serta waktu yang tepat untuk kembali aktif bekerja.
Implikasi Resign bagi Istri
Banyak yang menganggap isteri lebih cocok untuk berhenti bekerja, pandangan ini bisa berujung pada stigmatisasi peran gender. Studi menunjukkan wanita sering mengalami penurunan kesejahteraan mental karena tidak bisa berpartisipasi dalam dunia kerja (Olesen, 2013).
Dampak finansial juga patut diperhitungkan, mengingat sulitnya mendapatkan kembali posisi profesional setelah jeda panjang. Refleksi pentingnya: apakah pemberdayaan wanita harus dikorbankan atas nama pengasuhan anak?
Keputusan seorang istri untuk berhenti bekerja demi merawat anak sering kali membawa dampak emosional yang signifikan. Penelitian oleh Sharma (2022) menunjukkan bahwa pemberhentian ini dapat menciptakan perasaan kehilangan identitas bagi perempuan yang sebelumnya aktif berkarier.
Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh istri, tetapi juga memengaruhi dinamika keluarga secara keseluruhan, memunculkan potensi stres dalam hubungan suami-istri. Lantas, apakah hal ini tidak berpengaruh pada keamanan finansial dalam keluarga?
Dalam konteks psikologis, terutama menurut teori perkembangan Erikson, seorang ibu yang berhenti bekerja dapat mengalami tantangan dalam mencapai tahap integritas versus keputusasaan. Ketika dihadapkan pada peran baru sebagai pengasuh, mereka mungkin merasakan tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial.
Dalam hal ini, dukungan emosional dari suami dapat menyeimbangkan beban yang dirasakannya, meskipun dukungan yang diharapkan kadang kandas di tengah komitmen lantaran masing-masing pihak merasa paling berperan dan menentukan.
Implikasi Resign bagi Suami
Ketika suami yang memutuskan untuk berhenti, muncul anggapan baru terkait redefinisi peran gender tradisional. Beberapa psikolog berpendapat bahwa pria yang mengambil peran utama di rumah dapat mengalami krisis identitas dan tekanan sosial (Equimundo. 2020).
Suami dalam budaya patriarkal sering kali dianggap sebagai pencari nafkah utama. Saat suami memutuskan untuk mundur dari pekerjaan, ada stigma sosial yang mungkin muncul, memicu perasaan tidak mampu dan menciptakan ketegangan dalam hubungan pernikahan. Penelitian oleh Ruppanner (2021) menunjukkan bahwa pria yang mengambil keputusan ini sering merasa terasing dan mengalami kecemasan akibat norma gender yang kaku.
Namun, di sisi positifnya, ketika suami mengambil peran pengasuh, hal ini dapat mengubah dinamika keluarga menuju kemitraan yang lebih setara. Keberanian suami dalam merawat anak dapat meningkatkan hubungan emosional antara ayah dan anak.
Waktu untuk Kembali Bekerja
Setelah resign, pertanyaan penting selanjutnya adalah kapan waktu yang tepat untuk kembali bekerja. Menurut The Work Parent (2024), idealnya, kedua orang tua harus menciptakan jangka waktu untuk mengadaptasi peran baru sambil mempertimbangkan lamanya cuti. Lamanya cuti ini bervariasi, tergantung pada kondisi finansial dan kebutuhan anak, tetapi lebih dari satu tahun merupakan waktu yang umum bagi banyak keluarga.
Namun, penting untuk mempertimbangkan bahwa kembali bekerja bukan hanya sekadar persoalan finansial, tetapi juga faktor psikologis. Mengadaptasi kembali kehidupan kerja membutuhkan kesuksesan dalam menemukan keseimbangan antara kewajiban sebagai orang tua dan tuntutan profesional.
Mengidentifikasi waktu yang tepat untuk kembali berkarier adalah keputusan yang kompleks. Kebanyakan ahli sepakat keputusan tersebut harus bergantung pada kesiapan emosional orang tua dan anak (Cabrera et al., 2000).
Pendidikan anak, kebutuhan finansial, dan kesejahteraan mental orang tua semuanya perlu dipertimbangkan. Pertanyaan kunci untuk refleksi akhir adalah: apakah kembali bekerja hanya soal waktu, atau soal keadaan yang lebih kondusif bagi keluarga?
Keputusan untuk resign pasca-kehadiran anak adalah masalah rumit yang melibatkan banyak aspek. Baik suami maupun istri memiliki tantangan dan peluang sendiri-sendiri saat mengambil tindakan ini. Dalam konteks keluarga modern, dialog terbuka dan dukungan satu sama lain sangat penting untuk menemukan keseimbangan ideal.Â
Dengan mempertimbangkan waktu, peran, dan harapan, pasangan dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak sekaligus memenuhi kebutuhan pribadi mereka.
Referensi:
Cabrera, N. J., Tamis-LeMonda, C. S., Bradley, R. H., Hofferth, S., & Lamb, M. E. (2000). Fatherhood in the twenty-first century. Child Development, 71(1), 127-136. URL: https://srcd.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/1467-8624.00126
Equimundo. (2020). Men who Care: A Multi-Country Qualitative Study of Men in Non-Traditional Caregiving Roles. Equimundo. URL: https://www.equimundo.org/resources/men-who-care-a-multi-country-qualitative-study-of-men-in-non-traditional-caregiving-roles/?form=MG0AV3
McGarvie, S. (2024). Attachment Theory, Bowlby's Stages & Attachment Styles. URL: https://positivepsychology.com/attachment-theory/
Moreland-Russell, S., Jabbari, J., Ferris, D. & Roll, S. (2022). At Home and on the Brink: U.S. Parents' Mental Health during COVID-19. International Journal of Environment Research and Public Health, Vol. 19 , Issue 9. URL: https://www.mdpi.com/1660-4601/19/9/5586
Olesen, S. C, Butterworth, P., Leach, Liana S. M., Â Kelaher & Pirkis, J. (2013). Mental health affects future employment as job loss affects mental health: findings from a longitudinal population study. BMC Psychiatry Vol. 13, Number 144. URL: https://bmcpsychiatry.biomedcentral.com/articles/10.1186/1471-244X-13-144
Ruppanner, L. (2021). Shifting Inequalities? Parents' Sleep, Anxiety, and Calm during the COVID-19 Pandemic in Australia and the United States. Men and Masculinities. URL: https://www.academia.edu/45001565/Shifting_Inequalities_Parents_Sleep_Anxiety_and_Calm_during_the_COVID_19_Pandemic_in_Australia_and_the_United_States?form=MG0AV3
Sharma, M. (2022). Mental health linked with work life balance of working women. International Journal of Health Sciences, Vol. 6 No. S4. URL: https://sciencescholar.us/journal/index.php/ijhs/article/view/6575
The Work Parent (2024). The Truth About Parental Leave and Career Advancement. URL: https://workparentbalance.com/blog/the-truth-about-parental-leave-and-career-advancement/?form=MG0AV3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H