Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Resign Demi Merawat Anak: Haruskah?

20 Desember 2024   09:58 Diperbarui: 20 Desember 2024   09:43 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks psikologis, terutama menurut teori perkembangan Erikson, seorang ibu yang berhenti bekerja dapat mengalami tantangan dalam mencapai tahap integritas versus keputusasaan. Ketika dihadapkan pada peran baru sebagai pengasuh, mereka mungkin merasakan tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial.

Dalam hal ini, dukungan emosional dari suami dapat menyeimbangkan beban yang dirasakannya, meskipun dukungan yang diharapkan kadang kandas di tengah komitmen lantaran masing-masing pihak merasa paling berperan dan menentukan.

Implikasi Resign bagi Suami

Ketika suami yang memutuskan untuk berhenti, muncul anggapan baru terkait redefinisi peran gender tradisional. Beberapa psikolog berpendapat bahwa pria yang mengambil peran utama di rumah dapat mengalami krisis identitas dan tekanan sosial (Equimundo. 2020).

Suami dalam budaya patriarkal sering kali dianggap sebagai pencari nafkah utama. Saat suami memutuskan untuk mundur dari pekerjaan, ada stigma sosial yang mungkin muncul, memicu perasaan tidak mampu dan menciptakan ketegangan dalam hubungan pernikahan. Penelitian oleh Ruppanner (2021) menunjukkan bahwa pria yang mengambil keputusan ini sering merasa terasing dan mengalami kecemasan akibat norma gender yang kaku.

Namun, di sisi positifnya, ketika suami mengambil peran pengasuh, hal ini dapat mengubah dinamika keluarga menuju kemitraan yang lebih setara. Keberanian suami dalam merawat anak dapat meningkatkan hubungan emosional antara ayah dan anak.

Waktu untuk Kembali Bekerja

Setelah resign, pertanyaan penting selanjutnya adalah kapan waktu yang tepat untuk kembali bekerja. Menurut The Work Parent (2024), idealnya, kedua orang tua harus menciptakan jangka waktu untuk mengadaptasi peran baru sambil mempertimbangkan lamanya cuti. Lamanya cuti ini bervariasi, tergantung pada kondisi finansial dan kebutuhan anak, tetapi lebih dari satu tahun merupakan waktu yang umum bagi banyak keluarga.

Namun, penting untuk mempertimbangkan bahwa kembali bekerja bukan hanya sekadar persoalan finansial, tetapi juga faktor psikologis. Mengadaptasi kembali kehidupan kerja membutuhkan kesuksesan dalam menemukan keseimbangan antara kewajiban sebagai orang tua dan tuntutan profesional.

Mengidentifikasi waktu yang tepat untuk kembali berkarier adalah keputusan yang kompleks. Kebanyakan ahli sepakat keputusan tersebut harus bergantung pada kesiapan emosional orang tua dan anak (Cabrera et al., 2000).

Pendidikan anak, kebutuhan finansial, dan kesejahteraan mental orang tua semuanya perlu dipertimbangkan. Pertanyaan kunci untuk refleksi akhir adalah: apakah kembali bekerja hanya soal waktu, atau soal keadaan yang lebih kondusif bagi keluarga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun