Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy & Research Centre.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kenaikan Tarif Trump: Apa Kaitannya dengan Pajak PPN 12% di Indonesia?

3 Desember 2024   22:55 Diperbarui: 3 Desember 2024   23:03 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bingung mendapat surat tagihan pajak (Sumber: Freepik/Koleksi Edy Suhardono)

Hubungan antara kejadian ekonomi global dan kebijakan domestik seringkali terlihat saling memengaruhi.

Kenaikan tarif yang direncanakan Donald Trump bagi produk impor Amerika Serikat menunjukkan bagaimana sebuah negara dapat menggunakan kebijakan fiskal untuk mempengaruhi perdagangan dan investasi internasional. Di saat yang sama, rencana pemerintah Indonesia untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025 mencerminkan strategi serupa untuk meningkatkan pendapatan negara.

Berbagai Alasan

Kenaikan tarif yang dilakukan Trump memiliki banyak alasan, mulai dari perlindungan industri dalam negeri hingga penciptaan daya tawar dalam perundingan internasional. Konsekuensi dari tindakan ini bukan hanya akan memengaruhi hubungan dagang di tingkat internasional, tetapi juga akan menghasilkan dampak pada perekonomian domestik negara lain, termasuk Indonesia. Dalam konteks neoliberal, di mana pasar sering kali diprioritaskan di atas kesejahteraan masyarakat, langkah ini dapat menimbulkan dampak yang lebih luas dan kompleks.

Sementara itu, pemerintah Indonesia mengklaim bahwa peningkatan PPN diperlukan untuk mendanai proyek infrastruktur dan kesejahteraan sosial. Namun, kebijakan ini berpotensi mengurangi daya beli masyarakat, terutama kalangan berpenghasilan rendah dan menengah. Berbagai penelitian (Gupta & Sahay, 2002; Bahl, 2003; Browning & Leth-Petersen, 2003; De Mooij & Keen (2013), dan Coyle (2014) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kenaikan PPN dengan penurunan konsumsi rumah tangga, yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi domestik.

Dalam kerangka analisis neoliberal, kebijakan fiskal yang diterapkan oleh negara-negara ini berfungsi untuk melindungi dan memperkuat pasar tanpa memperhatikan dampaknya pada civil society. Dengan mengerahkan populisme, para pemimpin menciptakan narasi bahwa peningkatan tarif dan pajak adalah demi kepentingan nasional. Namun, ini dapat menyisakan dampak negatif bagi masyarakat yang semakin terpinggirkan dalam wacana kebijakan.

Kaitan antara Kebijakan dan Perilaku

Pakar, seperti Richard Thaler yang membahas perilaku ekonomi dari perspektif psikologi uang, menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang tidak mempertimbangkan perilaku konsumen dapat mengarah pada konsekuensi yang merugikan. Thaler telah meneliti bagaimana preferensi masyarakat terhadap nilai dan substansi dapat memengaruhi konsumsi dan investasi. Oleh karena itu, kenaikan PPN yang tidak diimbangi dengan proses edukasi yang memadai mengenai manfaat pajak tersebut dapat malahan berisiko menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan publik.

Selanjutnya, adanya dampak inflasi sebagai hasil dari kenaikan PPN harus dipertimbangkan. Membebankan biaya tambahan kepada konsumen berpotensi menciptakan reaksi berantai yang merugikan daya beli nyata masyarakat.

Angka inflasi yang meningkat bisa memicu ketidakpastian ekonomi yang lebih besar, yang akan membuat masyarakat cenderung menahan diri dalam mengeluarkan uang. Dengan ini, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan justru menjadi terhambat.

Jika pola penaikan tarif oleh Trump menghasilkan ketegangan sinergis di pasar global, maka dampaknya pada kebijakan dalam negeri juga perlu dicermati. Prediksi logis menunjukkan bahwa civil society, yang saat ini sudah terpinggirkan, akan semakin kehilangan ruang untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan ekonomi. 

Ketika state dan market bersatu untuk memprioritaskan kepentingan korporasi dan negara, ruang bagi masyarakat sipil untuk bersuara semakin menyusut.

Alternatif Kebijakan Fiskal

Alternatif kebijakan fiskal yang lebih inklusif dan berbasis pada keadilan sosial memang sangat diperlukan. Reformasi perpajakan yang progresif serta peningkatan transparansi dalam pengeluaran pemerintah harus menjadi fokus utama. Dalam konteks ini, masyarakat civil harus diikutsertakan dalam dialog mengenai kebijakan-kebijakan tersebut agar pembangunan ekonomi tidak terputus dari kesejahteraan sosial.

Menghadapi risiko yang mungkin timbul dari kebijakan yang diberlakukan, keberdayaan civil society perlu dipertahankan. Jika civil society dapat menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang diambil, maka ada kemungkinan bagi masyarakat untuk mendapatkan dampak positif dari kebijakan publik. Dalam hal ini, analisis dampak makroekonomi perlu dilakukan dengan melibatkan multistakeholder, termasuk akademisi dan masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa suara mereka tidak terabaikan.

Kesimpulannya, baik rencana kenaikan tarif Trump maupun kenaikan PPN 12% di Indonesia menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal dapat digunakan untuk tujuan tertentu. Namun, dalam perspektif neoliberal, di mana negara dan pasar mendominasi, civil society berpotensi terpinggirkan. Oleh karena itu, diperlukan dialog yang inklusif dan alternatif kebijakan yang lebih responsif guna mempertahankan keberdayaan masyarakat dalam menghadapi tantangan ekonomi global.

Bibliografi

Bahl, R. (2003). "Implementing the New Tax Agenda." Economic Development and Cultural Change. 

Browning, M., & Leth-Petersen, S. (2003). "Imputing consumption from income and wealth information." Scandinavian Journal of Economics, 105(3), 493-513.  

Coyle, D. (2014). "Governing the Economy: The Role of the State in Economic Growth." Oxford Handbook of State Capitalism and the Firm. 

De Mooij, R. A., & Keen, M. (2013). "Fiscal Devaluation and Fiscal Sustainability." International Monetary Fund. 

Gupta, S., & Sahay, R. (2002). "Fiscal policy and consumption in South Asia." Journal of Asian Economics, 13(5), 647-673. 

Piketty, Thomas. (2014). "Capital in the Twenty-First Century." Harvard University Press.

Sen, Amartya. (1999). "Development as Freedom." Oxford University Press.

Thaler, Richard H. (2016). "Misbehaving: The Making of Behavioral Economics." W.W. Norton & Company.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun