Dalam hal ini, kandidat yang optimis tidak hanya menunjuk pada kompetensi dan keunggulan mereka, tetapi juga berusaha menunjukkan kelemahan kompetitor. Misalnya, dalam persaingan bisnis, seorang pengusaha yang yakin akan sukses mungkin akan menyoroti kekurangan pesaingnya, bukan hanya mengandalkan keunggulan produknya.
Keberadaan "kambing hitam" dalam politik bukanlah hal baru. Blanton dan Christie (2020) menjelaskan bahwa tekanan sosial dapat mendorong individu untuk mencari penyebab pada orang lain ketika menghadapi hasil yang tidak diinginkan. Dalam konteks politik, ini bisa berupa menyalahkan anggota fraksi lawan, institusi, atau bahkan masyarakat luas, sebagai cara untuk mempertahankan legitimasi diri mereka. Sebagai contoh, jika seseorang dalam tim olahraga kalah, mereka mungkin menyalahkan wasit atau cuaca, alih-alih mengevaluasi performa tim mereka sendiri.
Masalah ini semakin rumit dengan kondisi sistemik di Indonesia, di mana praktik kampanye yang tidak etis, pemanfaatan sumber daya negara untuk keuntungan politik, dan ketidaknetralan institusi sering dilaporkan. Praktik "cawe-cawe partai coklat" yang disebutkan sebelumnya, jika terbukti, menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam pemilihan tidak hanya merugikan, tetapi juga dapat memperkuat posisi sebuah partai yang kalah untuk mendeklarasikan kekalahan mereka sebagai efek dari intervensi luar. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan di antara pemilih, mirip dengan perasaan kekecewaan saat kita merasa diperlakukan tidak adil dalam situasi sehari-hari.
Kalah dan Kambinghitam: Satu Paket
Dalam pemilihan umum, atribusi kekalahan ini dapat dianggap sebagai bagian integral dari strategi komunikasi politik. Menurut penelitian oleh Entradas dan Edwards (2021), retorika dalam pemilihan sering kali disusun untuk mempengaruhi persepsi publik. Mereka membangun narasi yang berfokus pada justifikasi keunggulan atau alasan kegagalan, tergantung pada posisi masing-masing pihak. Ini mirip dengan bagaimana kita berusaha menjelaskan kegagalan kita kepada teman-teman agar mereka tetap mendukung kita.
Penguatan atribusi kalah melalui penunjukan kambing hitam dapat menimbulkan siklus ketidakpercayaan dalam demokrasi. Khoirunnisa Nur Agustyati (2024) mencatat bahwa praktik "cawe-cawe" yang sulit dibuktikan, terutama dengan adanya intimidasi dalam masyarakat, menunjukkan kompleksitas dalam upaya verifikasi. Dalam situasi seperti ini, penting untuk memiliki pengawasan yang lebih ketat terhadap proses pemilihan dan pendidikan pemilih yang lebih baik. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang akar permasalahan dari tudingan dan atribusi, masyarakat dapat lebih bijak dalam menilai situasi.
Secara keseluruhan, fenomena atribusi kalah dan pencarian kambing hitam di arena politik bukan hanya mencerminkan dinamika kekuasaan, tetapi juga kebutuhan mendalam akan legitimasi dan penerimaan sosial. Ini membuka pintu bagi diskusi lebih lanjut mengenai bagaimana keadilan dalam berpolitik dapat terwujud dalam konteks yang semakin kompetitif, di mana perilaku saling menyalahkan sering kali mendominasi. Dalam dunia digital yang penuh dengan "kode" ini, penting bagi kita untuk berpikir kritis dan memahami motivasi di balik setiap narasi yang kita dengar.
Bibliografi:
Blanton, H., & Christie, C. (2020). The Psychology of Political Responsibility: Attribution Processes in Political Behavior. London: Sage Publications.
Entradas, M., & Edwards, J. (2021). Political Communication Strategies in Electoral Campaigns: Impact on Public Perception. Journal of Political Marketing.
Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (2017). Social Cognition: From Brains to Culture. New York: McGraw-Hill.