salah Kodok (Sumber: Frepik/Koleksi Edy Suhardono)
Dalam dunia politik, terutama saat pemilihan kepala daerah, kita sering melihat fenomena yang menarik perhatian: atribusi kekalahan. Setiap kali pemilihan berlangsung, tak pelak lagi, kandidat atau partai yang kalah akan mencari alasan untuk menjelaskan hasil buruk yang mereka terima.
Kebiasaan ini bukan hanya reaksi psikologis, tetapi juga strategi politik yang digunakan untuk menjaga citra dan dukungan di masa depan. Hal ini mirip dengan bagaimana kita kadang mencari alasan saat mengalami kegagalan dalam kehidupan sehari-hari, seperti saat gagal ujian dan menyalahkan soal yang sulit alih-alih kekurangan persiapan.
Atribusi Kalah
Atribusi kekalahan merupakan cara bagi politisi untuk menghindari tanggung jawab sepenuhnya atas hasil pemilihan. Dengan mencari kambing hitam, mereka tidak hanya berusaha menyangkal kesalahan, tetapi juga menyalahkan pihak ketiga. Ini membuat mereka tampak lebih baik di mata pendukungnya, seolah-olah kekalahan tersebut bukan karena kekurangan diri mereka sendiri. Ini ibarat seorang pelajar mendapatkan nilai jelek, kemudian mereka mungkin berkata, "Saya tidak belajar dengan baik karena guru tidak menjelaskan dengan jelas," untuk menghindari rasa bersalah.
Dalam psikologi sosial, Fiske dan Taylor (2017) menjelaskan bahwa penjelasan untuk konsekuensi negatif sering kali melibatkan atribusi eksternal. Ketika seseorang dapat menunjukkan bahwa mereka dirugikan oleh faktor luar, seperti ketidakadilan atau manipulasi, mereka bisa mengurangi rasa bersalah yang mereka rasakan. Dalam konteks pemilihan, jika kandidat yang kalah dapat meyakinkan publik bahwa mereka tidak adil diperlakukan, hal ini dapat meredam dampak negatif dari kekalahan mereka.
Salah satu contoh konkret dari fenomena ini terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah 2024. Di tengah pemilihan, muncul tuduhan tentang campur tangan polisi, yang dikenal dengan istilah "cawe-cawe partai coklat". Meskipun belum ada bukti yang jelas, tuduhan ini mencerminkan bagaimana strategi atribusi dapat digunakan.
Dengan menunjukkan bahwa mereka dirugikan oleh pihak lain, para politisi berusaha memperkuat posisi mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Yusuf Warsyim dalam (Kompas.id, 01/12/24), penjelasan seperti itu perlu dibuktikan agar semakin memperkuat posisi politik yang mengklaim dirugikan.
Argumen Pemenang
Riset psikologis menunjukkan bahwa kandidat yang merasa berpeluang menang cenderung mempersiapkan argumen untuk melawan rival mereka. Keren dan Miller (2018) menemukan bahwa individu dengan ekspektasi tinggi terhadap kemenangan sering bersikap defensif terhadap tuduhan yang mereka terima.