Dalam artikel berjudul "Anda Mulai Mabuk Kripto? Musibah Segera Muncul," Andreas Maryoto (Kompas.id, 21/11/2024) mengungkapkan bahwa banyak individu berinvestasi dalam aset kripto tanpa pemahaman yang memadai tentang risikonya. Penulis memperingatkan bahwa meskipun dukungan dari institusi dan kemunculan produk keuangan baru dapat menggoda, investor tetap harus waspada terhadap penipuan yang menjanjikan keuntungan instan.
Ketidakpastian regulasi multilateral dan keserakahan untuk meraih keuntungan cepat menjadi dua faktor utama yang memicu penipuan dalam dunia cryptocurrency.Â
Fenomena ini paling terlihat pada Bitcoin, di mana penipuan sering kali menjebak korban dengan janji keuntungan besar dalam waktu singkat. Ketidakpastian regulasi multilateral berperan penting dalam memungkinkan penipuan ini berkembang. Tanpa adanya kesepakatan internasional mengenai regulasi cryptocurrency, celah tersebut dimanfaatkan oleh para penipu.
Paul Krugman, ekonom pemenang Nobel, menyatakan dalam sebuah artikel di The New York Times (2021) bahwa "Ketidakjelasan dalam regulasi adalah racun yang merusak kepercayaan konsumen. Tanpa perlindungan yang jelas, investor menjadi mangsa yang mudah bagi penipu." Situasi ini menciptakan ruang bagi penipuan beroperasi dengan bebas, di mana penipu bisa memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat terhadap hukum dan regulasi yang ada.
Menurut laporan Global Challenges (2000), sistem multilateral kini sedang mengalami krisis, dengan banyak negara lebih memilih kebijakan unilateral atau bilateral. Ini mengakibatkan inkonsistensi hukum yang menyulitkan penegakan terhadap penipuan cryptocurrency.
Keserakahan
Keserakahan untuk segera mendapatkan keuntungan juga berkontribusi besar terhadap penipuan dalam cryptocurrency. Banyak investor terbuai oleh janji keuntungan tinggi tanpa memahami risiko yang menyertainya.Â
Penelitian oleh Perdana dan Jiow (The Conversation, 13/11/2024) menunjukkan bahwa penipuan cryptocurrency sering kali memanfaatkan kelemahan psikologis, seperti fear of missing out (FOMO). Para penipu menggunakan teknik rekayasa sosial untuk memanipulasi korban agar percaya bahwa investasi tersebut aman dan menguntungkan.
Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa, dalam sebuah konferensi keuangan internasional (2022), menjelaskan bahwa "Keserakahan adalah faktor yang mendorong orang untuk mengambil risiko lebih besar, sering kali tanpa pertimbangan yang sepadan." Dalam konteks ini, banyak individu terpengaruh untuk berinvestasi dalam skema yang menjanjikan keuntungan besar secara cepat, meskipun mereka memiliki pemahaman yang minim tentang pasar cryptocurrency.
Di Indonesia, banyak orang kehilangan aset mereka akibat ketidakpahaman dan keserakahan. Laporan Kompas (28/12/2021) menunjukkan bahwa masyarakat dengan pengetahuan terbatas tentang investasi kripto menjadi sasaran empuk bagi penipu. Mereka sering kali tergiur oleh imbal hasil tinggi tanpa memahami mekanisme pasar kripto, dan situasi ini diperburuk dengan minimnya regulasi yang jelas baik di tingkat nasional maupun internasional.